Home Gaya Hidup Perlu Rekomendasi Menggali Kembali Nilai Budaya Lamaholot

Perlu Rekomendasi Menggali Kembali Nilai Budaya Lamaholot

Larantuka, Gatra.com - Pagelaran seni dan budaya Lamaholot diharapkan tidak hanya sekedar eforia hura hura tetapi harus benarbenar bermakna. Dalam arti harus bisa menggali dan melestarikan kembali seni dan budaya Lamaholot yang kini terancam punah. 

"Ini hari ketiga pagelaran festival Lamaholot. Pagelaran festival ini banyak diikuti oleh kalangan warga berusia lanjut. Sedangkan generasi muda masih menjadi penonton. Bahkan ada anak-anak muda yang heran menyaksikan sejumlah atraksi kesenian dan budaya Lamaholot yang sudah lama menghilang," kata Wakil Bupati Flores Timur Agus Payong Boli ketika membuka membuka acara bertema Sarasehan Budaya Memperkuat Ekosistem Kebudayaan Lamaholot sebagai Fondasi pemajuan Kebudayaan di Masa Mendatang di Aula gereja Weri Larantuka, Jumat (13/9).

 

Untuk itu jelas Agus Payong Boli, agar seminar ini bisa menghasilkan rekomondasi bagaimana cara menggali nilai-nilai Lamaholot yang sebagian besar sudah terancam punah. 

 

"Saya harapkan agar seminar ini dapat menghasilkan rekomondasi untuk menggali kembali budaya Lamaholot yang telah tenggelam dan punah. Karena  dengan menggali kembali kebudayaan sama dengan menggali kembali jati diri. Ini sangat penting dan mendesak. Karena terbukti dalam festival hari pertama dan kedua banyak anak muda yang heran melihat budayanya sendiri yang dilakonkan para orang tua," ujar Agus.

 

Sarasehan ini menghadirkan pemateri Dr. Restu Gunawan, Direktur Kesenian Direktorat jenderal Kesenian, Kementerian Pendidikan RI, Wicaksana Adi, pendiri sekaligus kurator Borobudur Writers dan Cultural Festival yang setiap tahun diselenggarakan di Borobudur, Jawa Tengah, serta Bernadus Boli Ujan, Pastor misionaris Serikat Sabda Allah selaku narasumber lokal.

 

Agus mencontohkan, kepunahan budaya Lamaholot adalah hilangnya struktur dan pranata sosial adat.  Dulu orang di kampung-kampung selalu berpijak pada pranata sosial tradisional. Ketika menyelesaikan suatu masalah di kampung dilaksanakan secara budaya adat istiadat. "Sekarang kalau ada masalah orang lebih memilih untuk melapor kepada polisi, lapor kepada jaksa," jelasnya.

 

Padahal jelas Agus, sesuai ketentuan budaya Lamaholot, maka setiap persoalan akan masuk kepada pranata adat yang sudah ada. "Semuanya diselesaikan secara kekeluargaan melalui adat budaya Lamaholot. Setelah itu kemudian kehidupan berlangsung secara normal dan kembali damai lagi. Jika memang sudah tidak memungkinkan dan luar biasa baru direkomondasikan ke penegak hukum," ujar Wabup. 

 

 

Dia menyebutkan hidup aman, nyaman dan penuh kedamaian semuanya sudah ada, tersurat dan tersirat dalam budaya Lamaholot  Flores Timur. 

 

"Budaya Lamaholot telah lenyap di kalangan generasi muda.  Karena itu butuh penanganan khusus. Harus ada rekomondasi pemeliharaan. Setelah itu ada badan yang memelihara. Dan terakhir bagaimana memelihara budaya Lamaholot ini," papar Agus Payong Boli. 

 

Sementara itu, Dr. Restu Gunawan, Direktur Kesenian, Kementerian Pendidikan mengatakan, ada gejala fragmentasi yang belakangan ini terjadi di Indonesia. Menurutnya, gejala fragmentasi itu terjadi ketika pemerintah dan masyarakat tidak tahu apa yang mau dikerjakan atau dibereskan. 

 

"Ibarat sebuah meja tersedia banyak hidangan, tidak bisa satu orang saja yang menghabiskan, harus dihabiskan bersama-sama," ujar Dr Restu Gunawan.

 

Menurutnya, yang penting dilakukan pemerintah pusat hingga ke daerah adalah membangun ownership atau membangun rasa kepemilikan terhadap budaya di tengah masyarakat. 

 

"Kalau masyarakat kuat, apapun dapat berjalan dengan baik. Akan tumbuh mentalitas gotong royong di masyarakat kita. Tetapi jika hanya pemimpin saja yang kuat maka segala yang dibangun akan berantakan," kata Dr Restu.

 

Ekosistem budaya ini menurutnya sudah tertuang dalam UU nomor 5 tahun 2017 pasal 43, tentang pemajuan kebudayaan. "Sudah ada dalam UU. Karena itu kebudayaan bukan tontonan, tetapi merupakan kekayaan intelektual. Kebudayaan adalah hasil olah rasa, karena kebudayaan adalah masa lalu, masa kini, dan masa depan," tegas Dr Restu. 

 

Hal senada disampaikan Wicaksana Adi. Pendiri sekaligus curator Borobudur Writers dan Cultural Festival  ini mengatakan saat ini Indonesia mengalami distorsi budaya. Orang dapat dengan gampang mengkafirkan orang lain. Ini proses yang panjang dan saat ini anak kecil juga gampang mengkafirkan orang lain. 

 

Karena itu pemerintah penting membuat platform gotong royong baik dalam pengelolaan dan pelaksanaan budaya kita. Pemerintah mutlak harus memiliki Kementerian khusus menangani persoalan budaya. "Nanti daerah juga perlu membuat dinas khusus menangani Budaya dan mewarisi budaya dengan cara mendongeng atau pentas drama dan teater," ujar Wicaksana. 

 

Lebih lanjut dia mengatakan festival budaya Indonesia termasuk Lamaholot Flores Timur ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas pengelolaan kebudayaan. 

 

Menyadari munculnya masalah ini akhirnya Pemerintah memfasilitasi upaya membangkitkan budaya gotong royong di tengah punahnya kebudayaan bangsa. "Namun harus disertai payung hukum didaerah, misalnya ada dinas khusus atau badan bersama yang mengelola," jelas Wicaksana.

 

717