Batanghari, Gatra.com - Ketua Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari, Jambi, Derman P. Nababan mengatakan konflik bersifat alami, bisa terjadi di antara individu, komunitas, negara dan budaya.
"Konflik bisa terjadi dalam berbagai latar belakang, budaya, kelas, kebangsaan, umur dan gender. Namun pertanyaan yang terpenting, bukanlah apakah konflik itu baik atau buruk tetapi bagaimana cara menghadapinya," ujar Nababan dalam rapat Fasilitasi Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Kabupaten Batanghari.
Nababan menyetir pendapat Prof. Dr. H. Takdir Rahmadi, SH.,LL.M secara teori bahwa konflik bisa terjadi karena adanya ketidakpercayaan dan rivalitas kelompok dalam masyarakat karena posisi para pihak tidak selaras dan adanya perbedaan di antara para pihak.
"Karena suatu kelompok merasa identitasnya teracam oleh pihak lain, karena adanya ketidakcocokan komunikasi di antara para pihak, karena datang dari budaya yang berbeda, karena adanya masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang mewujud dalam bidang sosial, ekonomi dan politik, yang terakhir karena kebutuhan satu pihak merasa dihalangi oleh pihak lainnya," katanya.
Ia berujar bahwa orang akan cenderung mencari rasa aman, bila kondisi institusi negara lemah, kapasitas kelembagaan lemah, pecah konflik dan mekanisme pengelolaan yang membawa krisis legitimasi Negara. Hubungan HAM dan kekerasan, adanya pelanggaran HAM adalah gejala dan penyebab terjadinya kekerasan.
"Pengabaian yang terus menerus atas HAM merupakan penyebab struktural kekerasan dengan intensitas yang tinggi. Karenanya dibutuhkan penghormatan institusional atas HAM dan akomodasi secara struktural atas keberagaman yang mendasar dari pengelolaan konflik itu," ucapnya.
Hakim bersertifikat Mediator ini bilang ada dua mekanisme penyelesaian konflik, yaitu melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non-litigasi), yang sering disebut dengan Alternatif Penyelesian Sengketa (APS).
Semua cara penyelesaian sengketa selain melalui proses peradilan dan Arbitrase adalah termasuk APS, yaitu cara penyelesaian sengketa berdasarkan konsensus atau mufakat. Sedangkan penyelesaian sengketa yang sifatnya memutus (ajudicative) tidak termasuk ke dalam APS.
"Sejarah APS lahir di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Lalu pada tahun 1976, Prof. Frank Sander (Harvard University), mengatakan perkara terlalu banyak masuk ke pengadilan, lalu dia mengatakan solusinya: mencegah terjadinya sengketa, dan mengeksplor APS di luar pengadilan," katanya.
Dapat disadari bahwa terdapat kelemahan dalam sistem peradilan yaitu lawyer oriented: karena proses yang rumit, hanya pihak yang punya keahlian yang bisa bersidang di pengadilan. Adanya ungkapan mengenai citra pengadilan: “Hilang kerbau untuk mendapatkan kambing kembali."
"Menang jadi arang, kalah jadi abu. Win-Lose Situation: menghasilkan loser and winner, dan kurangnya kemampuan hakim: hakim tidak mampu mengimbangi kemajuan zaman, serta hubungan di antara para pihak putus dan bisa memicu konflik baru," ujarnya.
APS telah diatur di dalam UU Nomor 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui Konsultasi, Negosiasi, Mediasi dan Konsiliasi (Penilaian ahli). Mahkamah Agung RI juga telah menerbitkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang memberikan kesempatan kepada Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat bertindak sebagai mediator di luar pengadilan, dan apabila terjadi perdamaian, kesepakatan perdamaian tersebut bisa didaftarkan melalui gugatan di pengadilan dengan melampirkan kesepakatan tersebut untuk mendapat pengukuhan dari hakim, sehingga perdamaian tersebut bersifat final dan mengikat.
"Hakim akan menguatkan kesepakatan tersebut dalam Akte Perdamaian dalam sidang yang terbuka untuk umum, paling lama 14 (empat belas) hari sejak gugatan didaftarkan," katanya.
Nababan memulai karir dari Golongan I B di PTUN Medan tahun 1993 tersebut menjelaskan bahwa UU No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial. Penanganan Konflik Sosial adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik, yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik dan pemulihan pasca konflik.
"Dengan asas kemanusiaan, HAM, kebangsaan, kekeluargaan, yang mengacu kepada Bhinneka Tunggal Ika, keadilan, kesetaraan gender, ketertiban dan kepastian hukum," katanya.
Pencegahan Konflik
Lalu dalam PP Nomor 2 Tahun 2015 (Pelaksanaan UU No. 7 Tahun 2012), disebutkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pencegahan konflik, melalui: memelihara kondisi damai di tengah masyarakat, mengembangkan sistem penyelesaian secara damai, meredam potensi konflik, membangun sistem peringatan dini.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pencegahan konflik mengoptimalkan penyelesaian perselisihan secara damai melalui musyawarah untuk mufakat dan dapat melibatkan peran serta masyarakat (Pasal 1 ayat (1 dan 2) PP 2 Tahun 2015).
Proses perdamaian merupakan serangkaian tindakan, pertemuan, aktivitas yang diambil oleh kelompok yang berkonflik dan orang di wilayah yang terkena imbasnya untuk menuju penyelesaian secara terbuka serta penerimaan secara sosial, ekonomi, politik dan akar-akar penyebab konflik yang melahirkan pertempuran.
"Proses perdamaian yang efektif akan memperhitungkan dan menyentuh tujuh elemen: jender, generasi, politik, militer, ekonomi, budaya, social, nasional, batas-batas kewilayahan dan sumber daya alam," ujarnya.
Hakim yang telah mendapat promosi dan akan pindah tugas menjadi WKPN Subang Kelas I B ini, menegaskan bahwa PN Muara Bulian selama ini aktif turun ke masyarakat untuk memberikan penyuluhan hukum bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Batanghari.
"Kami berkewajiban untuk melayani masyarakat bukan hanya dalam persidangan, tetapi juga dengan terjun langsung ke tengah masyarakat," ucapnya.