Lampung Selatan, Gatra.com - Meski sudah lebih dari delapan bulan sejak tsunami melanda pada Desember 2018 lalu, rasa trauma masih menggelayuti penduduk Pulau Sebesi, Lampung Selatan. Kaum ibu mencoba menghilangkan trauma dengan berkumpul sambil menjahit.
Rohilawati (46) merapikan kerudung biru yang dikenakannya. Suaranya melirih dan terdengar sendu. Kenangan pahit bencana tsunami yang melanda pesisir Selat Sunda, termasuk Pulau Sebesi seakan terbayang lagi.
Masih (takut), kemarin yang ada gempa aja langsung kabur lagi ke gunung, katanya menunjuk Gunung Pulau Sebesi yang berada di balik rumah tempat berkumpul Geng Luna Maya, perkumpulan kaum ibu Dusun 3 Regahanlada, Desa Tejang, Pulau Sebesi, Lampung Selatan, Selasa (10/9)
Nama Geng Luna Maya berasal dari tanaman Lumai, sejenis rumput laut yang sering menjadi mata pencaharian kaum ibu jika musim ikan mengalami paceklik. Perkumpulan ini menjadi ajang curhat kaum ibu untuk mengatasi rasa trauma akibat bencana tsunami delapan bulan lalu.
Tsunami akibat longsornya Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 itu menghantam Pesisir Kalianda dan Pandeglang. Korban jiwa mencapai ratusan orang dan bangunan hancur diterjang tsunami.
"Kami itu ngungsi ke gunung. Tiga hari baru ada bantuan datang. Makan yang bisa dimakan di kebun. Ada pisang dimakan, ada kelapa ya makan kelapa. Sedihnya lagi, pas ada bantuan, suami saya turun ke bawah (dermaga), tapi nggak dapat, nggak ada lagi buat kami," tutur Rohilawati mengisahkan kembali pengalaman pahitnya saat mengungsi ke Gunung Pulau Sebesi. Beberapa orang mengangguk tanda mengiyakan.
Kisah itu diceritakan Rohilawati sambil menjahit topi bersama sekitar 10 ibu lainnya. Mereka duduk berhadapan di teras rumah. Kisah-kisah yang sebenarnya kembali memberikan kenangan buruk terlontar dengan canda tawa. Sesekali mereka saling mengomentari jahitan dan topi buatan kawan di sebelahnya.
Geng Luna Maya ini sedikit banyak membantu kaum ibu di Pulau Sebesi meluapkan dan melupakan sejenak rasa trauma. Anggota Geng Luna Maya mengakui acara kumpul-kumpul itu membantu mereka mengatasi trauma.
Sebelumnya, energi mereka hanya dihabiskan untuk membenahi rumah, mengolah makanan, dan mengurus anak, tanpa disadari trauma masih terpendam di dalam diri mereka.
Saya senang bisa kumpul-kumpul lagi. Tadinya cuma sibuk ngurus anak, ngurus rumah. capek, Mas. Kadang stres sendiri. Apalagi harta udah nggak ada, duit nggak punya, kata Yulinawati (47) yang juga ikut perkumpulan Geng Luna Maya.
Yulinawati mengakui, awalnya enggan mau bercerita atau curhat. Karena setiap dia mengingat bencana tsunami itu, dia selalu menangis dan ketakutan. Pertamanya sih emang susah. Saya nangis melulu. Sekarang kalau saya nangis pasti diledek, jadinya ketawa lagi, kata Yulinawati sambil tersenyum simpul.
Ajang sharing itu diinisiasi LSM Koali Rakyat untuk Keadilan Perikanan sejak beberapa bulan lalu. Pendongeng dan Spesialis Terapi Psiko Sosial, Salma, yang memandu sesi sharing itu mengatakan, meski bencana tsunami terjadi delapan bulan lalu masih ada trauma di dalam penduduk Pulau Sebesi, terlebih kaum ibu.
Jika kaum lelaki bisa mencari kesibukan dengan kembali melaut, kaum ibu yang hanya berdiam di rumah sangat rentan mengalami trauma. Perkumpulan itu pun menjadi sarana mencari kesibukan dan teman berkeluh kesah.
"Membuat topi hanya medianya saja. Mereka ini butuh teman ngobrol yang sesama ibu-ibu. Jika ada kesedihan, trauma, jangan hanya dipendam, kata Salma kepada Gatra.com, Jumat, (13/9).
Salma mengatakan, menjahit tersebut menjadi sarana proses pemulihan pasca bencana. Jika pun hasil jahitan bisa dijual, itu menjadi rezeki tambahan mereka. Salma menambahkan, kegiatan ini agar bisa berdialog dengan diri sendiri, menjadi sabar dengan suami, dengan anak.
Membuat topi ini juga berdasarkan kebiasaan masyarakat di sini. "Biasanya, kaum ibu memakai topi seperti ini untuk mencari Lumai dan Bungo (keong laut) jika musim paceklik ikan," katanya.
Terkait perkumpulan ini, Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati mengatakan, organisasinya pun belajar dari para kaum ibu dan korban bencana lainnya. Khususnya mengenai solidaritas dan bertahan hidup di tengah bencana.
"Kami belajar solidaritas dari mereka. Bantuan baru datang tiga hari setelah bencana. Ibu-ibu ini luar biasa menghadapi bencana dan mampu bangkit kembali," katanya.
Ke depan, Susan menambahkan, diharapkan ada perkumpulan resmi bagi perempuan nelayan di Pulau Sebesi, khususnya dalam ketangguhan pangan. Sehingga, jika terjadi bencana lagi, mampu bertahan tanpa menunggu bantuan dari pemerintah.