Lembah Jordan, Gatra.com - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengumumkan rencana bahwa pihaknya akan mencaplok Lembah Yordan dan daerah utara Laut Mati, desa dengan sekitar 350 penduduk dan lahan pertanian suburnya menjadi bagian dari Israel.
Netanyahu dikutip dari Aljazeera, Jumat (13/9), menyampaikan rencana pencaplokan wilayah yang terletak di antara tanah gersang Lembah Jordan yang terbentang luas di utara Laut Mati dan di sebelah barat perbatasan Tepi Barat dengan Yordania yang terletak desa kecil Palestina yakni Ras Ain al-Auja, tersebut pada Selasa kemarin.
Para pengamat menyebut rencana Netanyahu sebagai aksi kampanye menjelang pemilihan umum pekan depan. Namun, warga Ras Ain al-Auja menyampaikan bahwa kata-kata Netanyahu itu merupakan ancaman karena rencananya akan meresmikan kontrol Israel atas daerah tersebut.
"Ini bukan hal baru. Tanah kami telah dianeksasi dan kami hidup di bawah pendudukan Israel," ujar Ahmed Atiyat (48), seorang petani di Ras Ain al-Auja.
"Semua tanah dan pohon-pohon palem ini milik orang Israel," katanya sambil menunjuk hamparan lahan pertanian yang dipenuhi semak-semak hijau dan pohon kurma yang membentang ke arah Laut Mati.
Namun, rencana Netanyahu bertujuan untuk mencaplok desa dan bagian-bagian lain Lembah Jordan, tidak termasuk Jericho, Kota Palestina terdekat dengan Ras Ain al-Auja.
Aneksasi Yerikho akan memaksanya mengatasi status ribuan warga Palestina di sana. Rencana ini berpotensi memotong Yerikho dari kota-kota Palestina lainnya di Tepi Barat yang diduduki.
Populasi Ras Ain al-Auja terdiri dari petani yang telah bekerja di tanah selama beberapa generasi. Mereka mengatakan, menipisnya sumber daya air dan pembatasan pembangunan dan akses oleh militer Israel telah membuat kondisi kehidupan menjadi sulit.
"Semua sumber air kami berada di bawah kendali Israel. Kami memiliki sangat sedikit air minum, apalagi air untuk tanaman kami," kata Atiyat. Ia mengungkapkan, keluarganya pindah ke daerah itu setelah mereka diusir oleh militer Israel dari sepanjang Sungai Yordan pada tahun 1967 silam.
Menurut beberapa LSM Palestina dan Israel, Israel mempersulit warga Palestina yang tinggal di Lembah Yordan, serta daerah-daerah lain di Tepi Barat yang diduduki, akses ke tanah, air, dan listrik, membuat kondisi kehidupan sulit.
"Israel secara de facto mencaplok wilayah Lembah Yordan. Sebagian besar dialokasikan untuk penggunaan militer sehingga Palestina tidak bisa tinggal di sana. Jika mereka melakukannya, mereka diusir," kata Roi Yellim, direktur penjangkauan publik di Btselem, sebuah LSM hak asasi manusia.
"Ada juga upaya berkelanjutan dari Israel untuk mempersulit kondisi kehidupan warga Palestina di Lembah Yordan, sehingga sebagian besar dari mereka meninggalkan tanah mereka," ungkapnya, menambahkan. Ini menunjukkan bahwa kondisi seperti itu juga berlaku di seluruh Area C, yang merupakan sekitar 60% wilayah dari Tepi Barat yang diduduki.
Wilayah yang Netanyahu rencanakan untuk dicaplok adalah sekitar 30% dari Tepi Barat yang diduduki. Lebih dari 65.000 warga Palestina dan sekitar 11.000 pemukim ilegal Israel tinggal di daerah itu.
Maha Abdullah, seorang peneliti hukum dan pejabat advokasi di Al-Haq, sebuah LSM Palestina, mengatakan, kondisi ini akan menjadi lebih buruk jika daerah tersebut dianeksasi, membuat warga Palestina mempertimbangkan untuk meninggalkan rumah mereka.
"Daerah-daerah itu mendatangkan banyak pemasukan bagi ekonomi Israel dan karenanya bekerja dengan baik untuk mengeksploitasi sumber daya dan tanah," kata Abdullah.
"Pada saat yang sama, Israel menciptakan lingkungan koersif bagi warga Palestina yang tinggal di sana melalui penghancuran rumah, membatasi air dan listrik, akan mendorong warga Palestina untuk pergi," katanya, membandingkannya dengan aneksasi Yerusalem Timur pada tahun 1967.
Warga Palestina di Yerusalem Timur yang diduduki belum diberi kewarganegaraan Israel sejak aneksasi dan status mereka tetap kontroversial dan belum terselesaikan.