Jakarta, GatraReview.com - Industri pertanian butuh teknologi untuk mengintegrasikannya ke ranah digital. Ketidakseragaman data dan informasi terkait kapasitas, pasar, dan pembiayaan di sektor pertanian menjadi alasan bagi startup pertanian untuk mengubah citra pertanian Indonesia.
Sektor industri pertanian Indonesia belum benar-benar habis, meski pandangan pesimis seringkali muncul ketika membahas sektor produksinya, tentang kemelut impor beras misalnya. Walau begitu, Bank Dunia pernah menempatkan Indonesia sebagai negara agraria dengan perekonomian terbesar di urutan ke-16 dan masih menyimpan potensi kebangkitan industri pertanian. Sepertiga angkatan kerjanya, atau sekitar 33%, yang masih bekerja di sektor pangan dan pertanian menjadi modal awal. Meski begitu, ada sejumlah tantangan dan persoalan pelik yang harus dihadapi.
Antara lain, produktivitas padi yang rendah (14,5% lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam), pembiayaan yang masih mahal se-Asia menurut International Rice Research Institute (IRRI), ditambah persoalan rantai distribusi yang tidak efisien dan berdampak pada penurunan kualitas pasca-panen tiap tahun. Berbagai tantangan ini antara lain bersumber dari ketidakmerataan data dan ketidakseragaman informasi yang terkait dengan kapasitas, pasar, dan pembiayaan bagi seluruh pemain di sektor pertanian.
Salah satu solusi membenahi persoalan itu adalah dengan membangun ekosistem digital dan menyediakan data yang bisa diakses semua pemain yang berada di dalamnya. Inilah yang saat ini menjadi fokus HARA, salah satu startup lokal yang bergerak di bidang pertanian. Chief Executive Officer HARA, Regi Wahyu, mengungkapkan pentingnya precision agriculture dalam industri ini. Ia mengaku sejak 2015, HARA mulai melakukan riset, berlanjut pada implementasi pada lahan seluas 5.000 hektare. Namun, kerja lapangan terkendala minimnya data dan memaksanya melakukan skema pertukaran data.
“Kami ubah bisnis modelnya dengan membangun ekosistem yang menyediakan pertukaran data yang memberikan insentif yang sepadan bagi semua pihak, membuatnya menjadi transparan dan mudah ditelusuri (traceable),” kata Regi kepada Aulia Putri Pandamsari dari GATRA di kantor HARA, pertengahan September lalu.
Hal ini, menurutnya, bisa dilakukan karena Industri pertanian di Indonesia memiliki potensi besar. Dengan luas lahan sawah yang mencapai 8,19 juta hektare, sebanyak 33% penduduknya bekerja di sektor pertanian, serta sumbangan 14% sektor pertanian ke produk domestik bruto (PDB) tentu banyak potensi yang bisa dimanfaatkan. Untuk mengelaborasi data itu, HARA menggunakan teknologi blockchain, basis data yang disebut sebagai blok dan diamankan menggunakan kriptografi.
“Blockchain sesuatu yang revolusioner. Pernah ada penelitian yang mengatakan tidak ada computing power mana pun yang bisa meretasnya. Terjaga dan sangat aman,” kata Regi.
Data yang terekam tidak dapat diubah tanpa konsensus mayoritas jaringan. Karena itu, blockchain cocok digunakan untuk merekam peristiwa, catatan, dan dapat mendokumentasikan bukti. Secara garis besar, HARA menye penyedia data (petani). Dalam prosesnya, penyedia data akan dibantu field officer atau petugas lapangan HARA yang kini jumlahnya mencapai 400 orang. HARA juga menyediakan insentif bagi para penyedia data berupa HARA Token yang dapat diwakilkan sebagai alat tukar untuk suatu produk atau layanan tertentu. Total alokasi yang diberikan untuk pemberian insentif ke petani mencapai 80 persen dari total transaksi. Namun, Regi enggan menyebutkan total perputaran dana yang sudah dicapai melalui HARA Token.
“Sebagian besar transaksi kami salurkan sebagai insentif penyedia data,” katanya.
Sekitar 15% dari perputaran dana tersebut digunakan untuk memastikan teknologi yang digunakan HARA bisa berjalan. Saat ini, HARA memang berfokus ke tiga jenis komoditas, seperti padi, jagung, dan cabai. Tetapi tidak menutup kemungkinan akan berekspansi ke komoditas lainnya. Jumlah petani yang sudah diakses oleh HARA hingga September 2018 ini sudah 10.000 petani, yang tersebar di beberapa daerah.
Berbeda dengan HARA yang fokus pada urusan data, TaniHub, sebuah startup berplatform e-commerce, menyediakan ruang memperlancar distribusi produksi, juga bisa meningkatkan kesejahteraan petani. CEO TaniHub, Ivan Arie Sustiawan, menilai digitalisasi pertanian tak bisa dihindarkan. Selain itu, digitali sasi industri pertanian diyakininya memperbaiki pola bisnis sektor pertanian. Terutama, distribusi marketnya. Maka setiap petani yang panen tidak lagi perlu memikirkan marketnya. Termasuk, tidak lagi harus menjual produk nya ke pasar induk, sehingga jalur distribusi menjadi lebih efektif.
“Kini mereka (petani) tidak lagi pusing. Karena kita membantu pasarkan secara online,” katanya ketika ditemui M. Egi Fadliansyah di kantornya, di Kemang, Jakarta Selatan.
Saat ini saja, ia melanjutkan, tercatat sudah 17.000 petani yang bermitra dengan TaniHub. Kebanyakan membentuk kelompok dengan jumlah 50-an petani per kelompok. Meski begitu, membina petani secara langsung bukanlah perkara mudah. Karena itu, secara selektif, Tani Hub memiliki beberapa proyek yang dijadikan sebagai percontohkan. Bahkan, menurutnya, saat ini sudah lebih dari 30 proyek yang sedang berjalan. Namun, kebanyakan masih ada di Pulau Jawa.
“Sekarang ini yang sudah mendapatkan project, seperti buah, ikan, dan ayam. Jadi hampir semua jenis kategori kita sudah lakukan project-nya,” ia mengungkapkan.
Pentingnya Teknologi Mendongkrak Produksi
Pemerintah sendiri menginginkan agar para petani sadar akan pentingnya teknologi. Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang juga Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menyebut penerapan teknologi adalah salah satu upaya meningkatkan produksi. Di negara maju, ia melanjutkan, sektor pertanian menggunakan teknologi tinggi. “Negara yang memiliki kemajuan pertanian pasti memiliki high innovation. Petani kita hanya bisa berkembang karena teknologi,” katanya lagi.
Demi menunjang digitalisasi pertanian, saat ini tengah dikembangkan empat inisiatif digital pada sektor strategis pertanian. Diantaranya pertanian presisi (meningkatkan produktivitas berbasis aplikasi digital), hub digital pertanian (menggunakan platform digital untuk menghuungkan pelaku rantai pasok pertanian), keuangan mikro pertanian (mengenalkan aplikasi digital keuangan mikro pada pelaku sector pertanian), serta lelang pertanian digital (menggunakan aplikasi digital untuk lelang komoditas pertanian). Upaya ini dilakukan dalam rangka mempersiapkan Indonesia sebagai Energy Digital Asia pada tahun 2020.
Perekonomian digital diperkirakan memiliki nilai perputaran yang dapat menambah nilai GDP Indonesia hingga US$150 miliar, apabila sebesar 10% saja dapat dimanfaatkan petani, maka perkembangan pelaku usaha agribisnis startup berpotensi besar dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Direktur Bina Produktivitas Kementerian Tenaga Kerja, Zuhri Bahri selaku Head of National Productivity Organization (NPO) Indonesia juga menyebut saat ini bermunculan beberapa startup yang membuat aplikasi jual-beli produk pertanian, sharing informasi harga komoditas pertanian, hingga sharing informasi seputar pertanian di sektor budidaya.
“Pemerintah concern terhadap peningkatan produktivitas dimana Nawacita nomor 6 pak Jokowi-JK menegaskan pemerintah punya komitmen tinggi terhadap peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing,” katanya.
Zuhri menambahkan, “Kami menyebut ada 4 pilar dalam peningkatan produktivitas yakni perlunya mengefektifkan manajemen dan birokrasi, meningkatkan inovasi kreativitas dan penguasan teknologi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta budaya etos kerja produktif,” katanya.