Jakarta, Gatra.com -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeluarkan siaran pers di Jakarta, terkait pemilihan Pimpinan KPK dan Ketua KPK oleh Komisi III DPR RI yang dinilai berakhir anti klimaks. Sebagaimana yang telah diprediksi sejak awal, Komisi III DPR RI akan memilih calon Pimpinan KPK yang sesuai dengan ‘selera politik’ mereka. Mereka mengabaikan berbagai catatan negatif terkait dengan calon Pimpinan KPK tertentu.
Sejatinya sinyal komposisi Pimpinan KPK terpilih menguat sejak di Panitia Seleksi Capim KPK. "Ini artinya, proses yang terjadi di Pansel Capim KPK, termasuk sikap politik Presiden Jokowi, dengan apa yang terjadi di DPR RI adalah sebuah proses yang seirama seolah menjadi bagian dari rencana besar," tulis ICW, 13 September 2019. Pemberantasan korupsi di Indonesia kian menjauh dari harapan menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.
Setidaknya ada 3 (tiga) isu besar jika melihat komposisi Pimpinan KPK terpilih. Pertama, rekam jejak buruk di masa lalu. Salah seorang figur yang dipilih DPR merupakan pelanggar kode etik, berdasarkan konferensi pers KPK. KPK telah membeberkan pertemuan yang bersangkutan dengan salah seorang tokoh politik.
Kedua, masih terdapat Pimpinan KPK terpilih yang tidak patuh dalam pelaporan LHKPN di KPK. Padahal ini merupakan mandat langsung UU No 28 Tahun 1999, dan Peraturan KPK No 07 Tahun 2016. "Akan tetapi persoalan ini terlewat begitu saja pada setiap tahapan seleksi," sesal ICW.
Ketiga, tidak mengakomodir masukan dari masyarakat. Sedari awal berbagai elemen masyarakat, organisasi, serta tokoh sudah mengungkapkan bahwa ada persoalan serius pada seleksi Pimpinan KPK kali ini. Mulai dari Ibu Shinta Wahid, Buya Syafii Maarif, Romo Magnis, Romo Benny, Pimpinan Muhammadiyah, Prof Mahfud MD, dan puluhan Guru Besar dari berbagai universitas di Indonesia. Akan tetapi masukan tersebut juga tidak diakomodir, baik oleh Pansel, Presiden, maupun DPR. Sehingga dapat dikatakan bahwa seleksi Pimpinan KPK kali ini hanya dijadikan urusan segelintir elite politik saja, tanpa melibatkan masyarakat luas.
Apalagi kemudian, langkah pararel DPR RI dan Pemerintah adalah dengan merevisi UU KPK melalui jalur cepat, dimana masukan dari berbagai elemen masyarakat tidak didengar sama sekali. Seluruh calon Pimpinan KPK juga sangat terikat dengan komitmen menyetujui revisi, sebagai syarat untuk terpilih sebagai Pimpinan KPK. Para calon Pimpinan KPK diminta untuk menandatangani kontrak politik saat fit and proper test yang berkaitan dengan persetujuan revisi UU KPK.
Keadaan yang sangat tidak ideal ini tentu membawa dampak langsung bagi agenda pemberantasan korupsi. "Namun demikian, kita sebagai elemen bangsa yang masih dan terus perduli dengan upaya perbaikan, pembenahan dan upaya melawan korupsi tidak boleh putus asa, karena apa yang kita lakukan selama ini telah membawa manfaat besar bagi bangsa ini," harap ICW.