Jakarta, Gatra.com - Anak perempuan Aminatun Najariah, korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok, Syahar Banu menjelaskan, ibunya tidak mendapatkan rehabilitasi dari pemerintah setelah dipenjara selama tiga bulan hingga menyebabkan depresi berat.
Syahar menerangkan, pada 2017 lalu Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengupayakan Aminatun untuk mendapatkan BPJS Kesehatan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun setelah dicek belum lama ini, LPSK tidak membayar tagihan BPJS Kesehatan Aminatun hingga dua tahun.
Alhasil, jika ingin berobat, Aminatun harus menebus sendiri biaya obat dan konsultasi dokter. Saat ditanyakan kepada LPSK bagaimana cara agar Aminatun bisa mendapatkan lagi jaminan kesehatan itu, pihak LPSK menyatakan Aminatun harus sakit terlebih dahulu.
Hal itu tentu disayangkan Syahar dan keluarga. Sebab, orang dengan gangguan mental sangat membutuhkan dukungan moral dan terapi psikis. "Tugas negara untuk merehabilitasi korban itu jadi gagal. Administrasinya sangat buruk, belum lagi soal kompensasi," kata Syahar saat konferensi peringatan 35 tahun kasus Tanjung Priok di kantor Amnesty International Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (13/9).
Selain tak direhabilitasi, Syahar mengaku keluarganya juga dimiskinkan oleh negara. Syahar menceritakan, Aminatun yang saat peristiwa itu merupakan tulang punggung keluarga sebagai tukang kue, harus kehilangan alat-alat pembuat kue karena disita negara.
"Saat kejadian, ibu saya single mom, alat-alat bikin kue seperti pisau, mixer, blender dirampas negara dengan alasan sebagai barang bukti (Aminatun) mau memberontak negara. Saya baru tahu di Indonesia ada warga mau berontak negara dengan blender," sindirnya.
Sejak saat itu kondisi ekonomi hingga psikis keluarga Syahar jatuh. Syahar yang lahir dari 7 bersaudara harus mencari beasiswa agar bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Iapun mendapatkan beasiswa dari KontraS yang bekerja sama dengan Universitas Paramadina. Kesedihan seakan tak berujung, Aminatun dan korban lainnya juga dipaksa bungkam agar kasus Tanjung Priok tidak berlanjut. Para korban kerap kali diberi uang tutup mulut.
Satu hal yang tersisa dan cukup menyakitkan para korban adalah negara yang tidak mau meminta maaf atas peristiwa kelam itu. Bahkan parahmya lagi, enggan mengakui bahwa peristiwa itu ada. "Negara yang minta maaf sama warganya, itu bagus. Jokowi ngakuin saja enggak, gimana kita mau natap masa depan," tutup Syahar.