Home Politik Korban Kasus Tanjung Priok Kerap Alami Mimpi Buruk Selama 35 Tahun

Korban Kasus Tanjung Priok Kerap Alami Mimpi Buruk Selama 35 Tahun

Jakarta, Gatra.com - Korban kasus pelanggaran berat HAM Tanjung Priok, Aminatun Najariyah disebut kerap alami mimpi buruk selama 35 tahun sejak peristiwa itu terjadi pada 12 September 1984 silam. Hal itu dikisahkan oleh sang putri, Syahar Banu.

Syahar mengatakan, ibunya merupakan satu-satunya korban perempuan dalam peristiwa tersebut. Saat kejadian, Aminatun dibawa aparat bersama kakak laki-lakinya, Abdul Mudasir. Aminatun dan Abdul lantas dipenjara oleh pemerintah, namun keduanya berada di sel yang terpisah. Syahar mengatakan, ibunya mendekam selama tiga bulan di penjara.

Selama mendekam, Aminatun disebut mengalami tekanan psikologis karena dipenjara dengan tahanan yang disiksa bahkan dibunuh. Dari pengalamannya itu, Aminatun kerap mengalami mimpi buruk hingga hari ini.

Baca Juga: Korban Tanjung Priok, Memberontak pada Negara pakai Blender

"Jadi ibu saya selalu mendengar teriakan para tahanan. Sampai sekarang, 35 tahun berlalu, ibu saya selalu mimpi buruk tentang tentara, teriakan minta tolong tahanan laki-laki itu," kata Syahar saat konferensi peringatan kasus Tanjung Priok di kantor Amnesty International, Menteng, Jakarta, Kamis (12/9).

Selama dipenjara, Aminatun tak mendapatkan hak-haknya, salah satunya adalah pembalut. Syahar mengisahkan, saat masa haid di penjara, ibunya tak memakai pembalut, sehingga darahnya dibiarkan mengalir hingga menembus pakaiannya.

"Padahal itu di penjara laki-laki dan ada sipir laki-laki," sesalnya.

Setelah keluar tahanan, Aminatun masuk Rumah Sakit Jiwa Islam Cempaka Putih untuk mendapatkan perawatan psikis. Syahar menjelaskan, ibunya mengalami depresi berat. "Dampaknya depresi berat dan terasa sampai sekarang. Ibu saya suka teriak-teriak karena [mimpi] dikejar atau ditelanjangi tentara," tukasnya.

Baca Juga: Komnas HAM Dukung Pencalonan Indonesia Jadi Dewan HAM PBB

Sebagai informasi, kasus Tanjung Priok diduga dipicu oleh tindakan oknum tentara pada 10 September 1984 silam di Masjid As Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Oknum itu meminta pengurus masjid, Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah.

Biki yang menolak permintaan tersebut lantas membuat oknum tentara itu memindahkannya sendiri. Diduga saat memasuki area salat masjid, oknum tentara masuk tanpa melepas sepatunya dan melakukan tindakan tidak patut lainnya.

Tindakan oknum tentara itu membuat empat orang geram, mereka adalah Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe, dan Muhammad Nur. Keempat orang itu akhirnya membakar motor oknum tentara tersebut. Setelah membakarnya, keempat orang itu ditangkap.

Baca Juga: Pakistan Nilai India Lakukan Genosida di Khasmir

Dua hari setelah peristiwa itu, pada 12 September 1984, warga berkumpul akibat empat orang itu ditangkap. Amir Biki yang memimpin massa, dalam ceramahnya menuntut pembebasan empat orang itu, yang juga jemaah Mushala As Saadah.

Amir Biki dan massa mendatangi Komando Distrik Militer Jakarta Utara. Berbagai upaya dilakukan agar empat tahanan itu dibebaskan. Namun, upaya yang dilakukan oleh Amir Biki dan masyarakat justru mendapat penghadangan dari aparat keamanan di depan Polres Jakarta Utara. Aparat keamanan yang datang menangani kerusuhan menangkap warga dan melepaskan tembakan yang menewaskan beberapa orang.

Berdasarkan laporan Komnas HAM, peristiwa ini menimbulkan korban sebanyak 79 orang, yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 23 orang.

KontraS menyebut, kasus Tanjung Priok juga menimbulkan stigma negatif di masyarakat, bahwa kejadian itu dinilai sebagai bentuk kerusuhan yang mengancam keutuhan NKRI. Stigma itu muncul akibat tidak jelasnya kebenaran dalam peristiwa itu. 

4755