Jakarta, Gatra.com - Kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok telah memasuki tahun ke-35 hari ini, Kamis (12/9). Hingga saat ini, kasus itu dinilai belum dituntaskan oleh pemerintah.
Staf Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya mengatakan, pemerintah dinilai masih membiarkan dan mengesampingkan tanggung jawab untuk menuntaskan kasus itu secara menyeluruh.
"Kita tahu, kasus Tanjung Priok itu kasus pelanggaran HAM yang berat. Sudah mendapatkan peradilan HAM ad hoc tahun 2004," kata Dimas di kantor Amnesty Internasional Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (12/9).
Namun, dalam peradilan itu, Dimas mengatakan, putusan itu sangat regresif. Tidak berpihak kepada korban dan menganggap kasus itu bukan kasus HAM.
"Putusan itu merupakan hasil logika berpikir yang salah. Ada indikator, kasus Tanjung Priok itu adalah pelanggaran HAM berat, seperti yang termaktub UU no 26 tahun 2000. (Yakni) kekerasan, penculikan paksa, penyiksaan, yang itu semua dibuktikan dalam dokumen penyelidikan pro-justitia Komnas HAM," ujarnya.
Atas dasar itu, segenap lembaga yang bergerak di bidang HAM mulai Amnesty International Indonesia, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) hingga KontraS mendesak pemerintah untuk memenuhi dua hal.
Pertama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus segera melakukan memorialisasi, sebagai bagian dari pengungkapan kebenaran terhadap kasus Tanjung Priok. Satu di antaranya, dengan membangun prasasti peringatan seperti peristiwa kerusuhan Mei 1998. "Memorilialisasi ini penting ketika kita bicara soal penuntasan kasus secara optimal," ujar Dimas.
Kedua, Presiden Joko Widodo harus menginisiasi mekanisme pemulihan kepada korban dan keluarga korban. Meski mekanisme pengadilan untuk kasus Tanjung Priok sudah ada. Pemerintah dinilai masih mengabaikan pemulihan beberapa hak korban yang dirugikan atas terjadinya peristiwa Tanjung Priok.
Sebagai informasi, kasus Tanjung Priok diduga dipicu oleh tindakan oknum tentara pada 10 September 1984 silam di Masjid As Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Oknum itu meminta pengurus masjid, Amir Biki, menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah.
Biki yang menolak permintaan itu lantas membuat oknum tentara memindahkannya. Saat memasuki area salat masjid, oknum tentara diduga masuk tanpa melepas sepatunya dan melakukan tindakan tidak patut lainnya.
Tindakan oknum tentara itu membuat empat orang geram. Mereka adalah Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe, dan Muhammad Nur. Keempat orang itu akhirnya membakar motor oknum tentara tersebut. Setelah membakarnya, keempat orang itu ditangkap.
Dua hari setelah peristiwa itu, pada 12 September 1984, warga berkumpul akibat geram akan tindakan yang dipicu oknum tentara itu. Amir Biki yang memimpin massa, dalam ceramahnya menuntut pembebasan empat orang itu, yang juga jemaah Mushala As Saadah.
Amir Biki dan massa mendatangi Komando Distrik Militer Jakarta Utara. Berbagai upaya dilakukan agar empat tahanan itu dibebaskan. Namun, upaya yang dilakukan oleh Amir Biki dan masyarakat justru mendapat penghadangan dari aparat keamanan di depan Polres Jakarta Utara. Aparat keamanan yang datang menangani kerusuhan, melepaskan tembakan peluru yang menewaskan beberapa warga.
Berdasarkan laporan Komnas HAM, peristiwa ini menimbulkan korban sebanyak 79 orang, yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 23 orang.
Dimas menambahkan, kasus Tanjung Priok juga menimbulkan stigma negatif di masyarakat, bahwa kejadian itu dinilai sebagai bentuk kerusuhan yang mengancam keutuhan NKRI. Stigma itu muncul akibat tidak jelasnya kebenaran dalam peristiwa itu.