Yogyakarta, Gatra.com – Berawal dari sebuah pertanyaan, mengapa dunia fotografi konvensional saat ini lebih banyak menawarkan mimpi-mimpi yang jauh dari kenyataan dan cenderung digunakan meraih kekuasaan, 14 fotografer coba membawa kembali fotografi sebagai karya seni dalam pameran ‘Abad Fotografi’ yang keempat.
Mengambil tema ‘Momentum’, pameran yang diselenggarakan di Jogja Gallery, Alun-alun Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, ini berlangsung pada 12-30 September.
Kurator pameran ini, Jim Supangkat, menjelaskan pameran ini telah digelar pada 2011, 2013, dan 2016. Melalui ajang ini, para fotografer bermaksud mendekonstruksi fotografi sebagai sebuah karya seni kontemprorer.
“Karya bidang fotografi sekarang ini memanfaatkan kepercayaan masyarakat pada foto dengan merepresentasikan realitas yang diam-diam memanipulasi kepercayaan untuk berbagai tujuan,” kata Jim menjelang pembukaan pameran, Kamis (12/11).
Ia lantas mencontohkan representasi pada fotografi periklanan yang membangun mimpi-mimpi indah yang begitu jauh dari dunia kenyataan dan menjadikan masyarakat sebagai sumber keuntungan.
“Kami harapkan pameran ini menjadi jawaban yang ringkas, bagaimana mendekonstruksi bahasa fotografis yang sudah terkooptasi pemburu keuntungan. Ini momentum para fotografer Indonesia menentukan sikap dalam meneruskan fotografi,” katanya.
Karya-karya di pameran ini ditampilkan di 14 'studio' terpisah agar fotografer serasa memiliki ruang pamer pribadi. Jim mengatakan, pengunjung akan menemukan karya-karya itu menyampaikan keresahan.
Di studio Hermandari Kartowisastro misalnya, kita diajak oleh fotografer menyelami alaminya alam lewat foto-foto keragaman hayati dari berbagai lokasi. Dengan judul instalasi ‘Nafas Bumi Kita’, Hermandari mengingatkan pengunjung untuk menjaga kelestarian alam dan tidak merusaknya.
Tengok juga studi Risman Marah yang memasang instalasi yang sekilas menyerupai Kakbah. Berukuran 1,2x2 meter, instalasi ini berisi foto-foto ukuran 3x2 centimeter yang berisi ribuan pose wajah.
“Saya membuat pengunjung berputar mengikuti rute seperti tawaf dalam Islam atau Paradiksina (Hindu). Karya ini merupakan retrospeksi perjalanan sebagai fotografer dari saat era (kamera) analog sampai digital,” katanya.
Selain kedua orang itu, fotografer yang terlibat di pameran ini antara lain Oscar Motuloh, Irwandi, Edial Rusli, Ngesti Liman, Ismar Partizki, Yusuke Mimasu, Jiri Kudran, Chusin Setiadikara, Anton Ismail, Suherry Arno, Kun Tanubrata, dan Sjaiful Boen. Melalui pameran ini, masyarakat diajak untuk melihat kembali dan merespons karya-karya yang dipamerkan, termasuk yang memuat persoalan sosial politik dan lingkungan.