Jakarta, GATRAreview.com - Dalam urusan menyumbang devisi negara, pamor sektor pariwisata kini sedang naik daun. Bank Indonesia (BI) memprediksi, tahun 2019 ini, sektor pariwisata bakal menjadi penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor sawit. Pemerintah menargetkan devisa sektor pariwisata pada tahun ini sebesar US$ 17,6 miliar.
Merujuk data BI, dari tahun ke tahun sumbangan devisa dari sector pariwisata mengalami tren kenaikan. Sebelumnya, pada 2015, hanya menyumbang devisa US$ 10,76 miliar. Tahun berikutnya, 2016 naik menjadi US$ 11,20 miliar. Naik lagi di 2017 menjadi US$ 13,10 miliar. Data terbaru, sepanjang 2018 lalu, sumbangan devisi dari sektor pariwisata mencapai US$ 14,11 miliar.
Indeks Peringkat Pariwisata
Keberhasilan sektor pariwisata Indonesia juga tergambar dari laporan The Travel & Tourism Competitiveness yang dirilis Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF), awal September lalu. WEF merilis indeks peringkat daya saing pariwisata Negara – Negara di seluruh dunia. Dalam laporan disebutkan, posisi Indonesia naik dua peringkat, yakni peringkat 40 dari 140 negara. Sebelumnya, pada 2017, posisi Indonesia berada diperingkat 42.
Indonesia meraih skor 4,3 dari total penilaian. Adapun skala penilaian yaitu 1 untuk terburuk sedangkan angka 7 untuk terbaik. Angka penilaian diperoleh berdasarkan sejumlah indikator seperti lingkungan bisnis, keamanan, kesehatan dan kebersihan, sumber daya manusia dan lapangan kerja, keberlanjutan lingkungan dan lainnya. Dari semua indikator tadi, Indonesia mengalami banyak perbaikan positif, terutama di bidang kesehatan dan kebersihan.
Destinasi Wisata Super Prioritas
Sejak awal masa pemerintahannya, 2014 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus menggenjot sektor pariwisata sebagai penyumbang devisa Negara terbesar. Bahkan di pemerintahan periode keduanya, kebijakan tersebut akan terus dilanjutkan mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Begitulah bila mencermati isi pidato Nota Keuangan 2020 Presiden Jokowi pada 16 Agustus lalu di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.
Dalam pidato itu Jokowi menyebutkan strategi yang akan dijalankan pemerintah untuk mengembangkan industri pariwisata. Strategi tersebut antara lain dengan menempatkan empat destinasi wisata sebagai “Super Prioritas”. Yakni, Danau Toba di Sumatera Utara, Candi Borobudur di Jawa Tengah, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur dan Mandalika di Nusa Tenggara Barat.
Untuk empat destinasi itu, pembangan infrastruktur akan dilakukan secara lintas-sektor dan terintegrasi. Tujuannya agar pemasukan negara dari empat destinasi itu makin besar. Jokowi bergerak cepat. Dua minggu setelah menyampaikan strategi mengembangkan industri, pariwisata, Jokowi dan sejumlah menteri mendatangi kawasan wisata Candi Borobudur, satu dari empat Super Prioritas. Tujuannya untuk meninjau pengembangan destinasi wisata di lokasi tersebut.
Tak tanggung-tanggung, di pelataran resort Candi Borobudur itu Jokowi menggelar rapat terbatas. Rapat itu dihadiri antara lain Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Pariwisata Arief Yahya, Ikut pula dalam rapat itu, Gubernur Jawa Tengah Gandjar Pranowo, dan Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Dalam rapat itu Jokowi kembali menekankan nilai strategis sektor pariwisata bagi perekonomian nasional. Ia juga menyampaikan akan memantau kemajuan pembangunan destinasi wisata kawasan Borobudur ke para menterinya tiap tiga bulan sekali. “Pariwisata bisa menjadi motor peningkatan devisa dan memberikan multiplier effect, serta mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan daerah,” kata Jokowi kepada para awak media usai mengelar rapat di Kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Bersaing Ketat Dengan Thailand dan Malaysia
Kerja cepat Jokowi mengembangkan industri pariwisata mendapat respon positif dari para praktisi industri pariwisata. Namun, sejumlah pengamat menilai, Indonesia masih masih belum berhasil memberdayakan sektor pariwisata, terutama bila dibandingkan negara tetangga seperti Thailand atau Malaysia.
Padahal dengan potensi Indonesia, sektor pariwisata seharusnya bisa menghasilkan devisa yang sangat besar. Kontribusi pariwisata seharusnya mampu mengalahkan sektor lain. Beberapa Negara sudah melakukan. Berdasarkan data World Travel and Tourism Council (WTTC), Thailand bisa sebut negara yang sukses membangun industri pariwisata.
Terbukti, kontribusi sektor perjalanan dan pariwisata Thailand pada 2019 mencapai 21,6% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) negara, mengalahkan kontribusi sektor perbankan yang hanya 18,6%.
Itu Thailand, yang jumlah destinasi wisatanya terbatas. Indonesia yang keindahan alamnya jauh melebihi Thailand seharusnya bisa lebih unggul. Namun asa tersebut belum jadi kenyataan. Karena, dari kontribusi sektor pariwisata Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi, masih jauh tertinggal dari Thailand, bahkan tertinggal dari Singapura, Malaysia dan Kamboja.
Menyumbang 5,7 % dari PDB
Bagaimana cara mengukur keberhasilan sektor pariwisata? Apakah dari jumlah wisatawan? Bila mengacu pada dua hal itu, maka sektor pariwisata di Indonesia memang terus mengalami peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya memperlihatkan bahwa jumlah wisatawan asing yang datang ke Indonesia meningkat sampai 3 juta jiwa pada 2018 dibandingkan 2017.
Namun angka-angka fantastis itu bisa menjerumuskan, karena tidak secara objektif menggambarkan kondisi pariwisata Indonesia. Azril Aszahari, ketua umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI), menjelaskan bahwa untuk menghitung keberhasilan suatu sektor terhadap ekonomi negara, dilihat dari kontribusi sektor itu terhadap PDB.
Dari sini, barulah terlihat bahwa sektor pariwisata di Indonesia belum begitu berkembang. Pasalnya pada 2018, pariwisata hanya mampu menyumbang 5,7% terhadap PDB. “Dengan pencapaian segitu, sangat sulit disebut sektor pariwisata telah berhasil,” katanya kepada Angghi Novita dari GatraReview.
Azril yang juga professor ilmu pariwisata di Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti ini lalu menjelaskan bahwa berdasarkan Indeks Daya Saing Pariwisata 2017, Indonesia masih berada di urutan ke-42 dunia, masih kalah dengan Thailand yang berada di peringkat 36, Malaysia di peringkat 26, dan Singapura di peringkat 11.
Indeks Daya Saing Pariwisata atau Travel and Tourism Competitivesness Index (TTCI) adalah daftar peringkat negara-negara berdasarkan daya saing sektor pariwisata. Daftar ini dirilis oleh organisasi World Economic Forum (WEF) secara rutin setiap tahun.
Azril menjelaskan bahwa daftar itu menilai sektor pariwisata berdasarkan lima sub-indeks, yaitu environmental sustainability, health and hygiene, tourist service infrastructure, safety and security, dan Information and communications technology (ICT) readiness.
Peringkat pariwisata Indonesia dalam lima sub-indeks itu sangat rendah. Beberapa bahkan di atas di atas 100. Health and hygiene misalnya, berada di posisi ke-108 dari total 195 negara di dunia. “Seharusnya pemerintah memperhatikan dan memperbaiki kelemahan kita ini, terutama pada lima sub-indeks yang sangat rendah itu,” katanya
Masih Terfokus Strategi Branding
Azril menilai selama lima tahun terakhir ini ia melihat bahwa upaya pemerintah menggenjot sektor pariwisata lebih ditumpukan pada kampanye “branding”. Sedang pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata masih berjalan lambat, tidak semassif kampanye pemasaran. “Pemerintah terlalu fokus pada branding, terlihat pada alokasi dana yang sebagian besar untuk anggaran pemasaran,” katanya,
Terkait strategi umum pengembangan pariwisata Indonesia, Azril menjelaskan bahwa dengan beragamnya destinasi wisata di Indonesia, maka pemerintah seharusnya segera menetapkan differensiasi dari tiap-tiap destinasi tersebut. Misalnya, Bali dan Lombok merupakan destinasi wisata pantai. Yogyakarta merupakan destinasi wisata budaya, sedang Gunung Rinjani merupakan destinasi wisata pecinta alam.
Motor Baru Perekonomian
Pengembangan destinasi wisata dan promosi pun harus mengikuti keunikan berbeda tersebut. “Daya tarik destinasi wisata itu bisa meningkat ketika tiap destinasi itu memiliki keunikan dan otentisitas tersendiri,” jelasnya. Sejauh ini Azril melihat pemerintah belum terlalu serius dalam strategi mengembangkan keunikan berbagai destinasi wisata di Indonesia.
Tapi, Azril mengaku dapat memaklumi. Pasalnya dibanding sektor lain, pariwisata termasuk’anak baru. Sebagai sebuah displin ilmu, pariwisata pun baru. “Pariwisata baru diakui sebagai displin ilmu mandiri pada 13 Februari 2008, itu pun terlaksana setelah debat dengan pemerintah. Setelah itu barulah ada pendidikan sarjana pariwisata, magister dan doktor pariwisata, “ terang Azril.
Saat ini dengan penetapan empat destinasi pariwisata sebagai “Super Prioritas”, serta visi Presiden Jokiwi bahwa pariwisata bisa menjadi motor baru perekonomian, maka sektor pariwisata Indonesia bisa dibilang sudah berada di jalur yang tepat. Tinggal mempercepat serta merumuskan strategi yang efektif saja, agar tidak makin tertinggal dari negara lain.
Basfin Siregar