Jakarta, Gatra.com - Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendesak DPR untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP). Alasannya, masih ada sejumlah pasal yang dianggap bermasalah dan berpotensi sebagai pasal karet untuk mengkriminalisasi masyarakat sipil.
Sekar Banjaran Aji dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyoroti salah satu isu krusial yakni delik hukum yang berlaku di masyarakat (living law). Padahal menurutnya, masyarakat adat tidak pernah dilibatkan bahkan tidak mengetahui tentang hukum ini akan diberlakukan di Indonesia.
Baca juga: Rancangan KUHP yang akan Disahkan Melawan Program Kesehatan
"Orang-orang yang punya hukum adat aja tidak pernah diajak ngomong, ya ini lah yang terjadi," kata Sekar di Bakoel Koffie Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (12/9).
Dalam Pasal 598 tentang Living Law disebutkan dalam Ayat (1) Setiap Orang, yang melakukan perbuatan menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.
Pasal ini dianggap bermasalah karena mengandung asas legalitas dan kriminalisasi yang tidak jelas. Pasal ini juga dianggap menimbulkan multitafsir yang dapat dimanfaatkan untuk kesewenangan aparat.
Kemudian, Pasal 2 Ayat (1) berbunyi, Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
"Hukum yang hidup dalam masyarakat, masyarakat yang mana? Kita banyak sekali dan beragam," kata sekar mempertanyakan.
Ketentuan tersebut menyebabkan adanya perluasan ancaman pidana terhadap hal yang tidak jelas dan kabur. Sekar menjelaskan, selama ini diancam pidana karena perbuatan melawan hukum. Kali ini malah juga ditambah dengan hal yang bertentangan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Menurutnya, jikapun hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai hukum adat, padahal hukum adat belum didefinisikan secara perundangan-undangan.
"Kalau hukum yang hidup dalam masyarakat itu hukum adat, berarti UU hukum adat itu diselesaikan dulu," ujarnya.
Baca juga: Pasal-Pasal di RKUHP Akan Menghambat Kerja Jurnalis
Selain itu, bleid tersebut juga berpotensi memperuncing politik identitas di masyarakat. Sebab, hukum yang berlaku di setiap daerah berbeda. Jika ada yang terkena pidana di suatu daerah, bisa menjadi pemicu perpecahan antarregional tertentu.
"Misalnya saya orang Jakarta ke Bali, saya tidak tahu hukum adat yang ada hidup di sana. Kalau saya kena pidana, kemudian karena itu orang di Jakarta marah," ungkapnya mencontohkan.