Jakarta, Gatra.com - Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, M Teguh Surya berpendapat status kelapa sawit sebagai tanaman berisiko tinggi berdasarkan Renewable Energy Directive (RED) II dapat dicabut apabila Indonesia dapat memenuhi syarat tertentu.
"Kalau progress (kemajuan) Indonesia memang benar-benar menunjukkan sawit nggak membuka hutan, penegakan hukum jelas langkah-langkanya, bisa!" tegasnya kepada Gatra.com, Selasa (10/9).
Teguh berpendapat Indonesia harus memastikan tidak ada lagi kebun sawit yang membuka hutan dengan biodiversitas dan stok karbon tinggi, adanya kepastian hukum dalam mengembalikan kawasan hutan dan gambut, adanya protokol penyelesaian konflik yang jelas, adanya perlindungan satwa, dikembalikannya hak masyarakat, dan sebagainya sebagai pertimbangan revisi RED II.
"Makanya 3 tahun ini (Inpres Moratorium Kelapa Sawit) sangat menentukan. Kan pas 2021 (batas waktu moratorium). Kalau ini main-main, akibatnya ngancam-ngancam lah. Pasti bisa," ungkapnya.
Kemudian, teguh beranggapan Uni Eropa ingin Indonesia berubah demi kelancaran perdagangan kelapa sawit aebagai bahan baku dan bahan bakar nabati.
Penasihat Perubahan Iklim dan Lingkungan Uni Eropa untuk Indonesia, Michael Bucki juga mengungkapkan adanya kemungkinan tersebut.
"Apabila Indonesia berada pada jalur yang benar, kami berterima kasih atas hasil (penelitian) baru nanti," ujarnya dalam konferensi pers di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (5/9).
Bucki mengungkapkan pihaknya akan kembali mengeluarkan laporan terkait ILUC pada 2021 dan 2023. Hasil ini akan menjadi pertimbangan dalam merevisi RED II. Ia menjamin laporan yang disampaikan pihaknya transparan.
"Salah satu perhatian kita dalam jangka panjang adalah isu iklim,lingkungan, dan produksi yang berkelanjutan," ungkapnya.