Home Internasional Konsekuensi Khashoggi Terhadap Ekonomi Saudi

Konsekuensi Khashoggi Terhadap Ekonomi Saudi

Pangeran Muhammad bin Salman punya ambisi ekonomi besar untuk Arab Saudi. Terbunuhnya Khashoggi membuat para pelaku ekonomi pikir-pikir lagi. 


Tiga tahun lalu, sekitar bulan Maret 2015, Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) mengambil alih Public Investment Fund (PIF), sebuah perusahaan investasi yang bertujuan memutar uang milik Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. PIF tidak lagi berada di bawah Kementerian Keuangan melainkan di bawah Dewan Ekonomi dan Pembangunan (Council of Economic and Development Affairs -CEDA), yang bertanggung jawab langsung kepada MBS.

Manuver itu menjadikan sang putra mahkota sebagai pengendali kendaraan investasi berkekuatan US$100 milyar versi Forbes Middle East.

Dan sejak tiga tahun lalu, PIF mulai agresif berinvestasi di banyak proyek. Baik di dalam maupun luar negeri. Visi yang dijalankan oleh MBS selaku pengendalinya adalah memperkecil ketergantungan ekonomi Saudi terhadap penghasilan dari minyak bumi.

Ada beberapa proyek besar yang didanai oleh PIF. Mulai investasi di bidang teknologi informasi, perusahaan rintisan, Uber, hingga sektor properti. Ambisi ekonomi dari Muhammad bin Salman seolah tidak terbendung, terutama dengan armada investasi sebesar PIF di belakangnya.

Akan tetapi, pembunuhan terhadap jurnalis Jamal Khashoggi sepertinya mengubah itu semua.

Beberapa waktu lalu, Khashoggi selaku jurnalis sekaligus kritikus terhadap Pemerintah Kerajaan Arab Saudi dinyatakan terbunuh di kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki. Operasi penghilangan nyawa tersebut diduga dilakukan atas perintah dan sepengetahuan Pangeran Muhammad bin Salman sendiri.

Beberapa bukti awal yang diungkapkan oleh pihak Turki menunjukkan, ada korelasi erat antara kematian Khashoggi dan sang pangeran. Mulai panggilan telepon ke kantor MBS di saat Khashoggi diduga terbunuh sampai keterlibatan beberapa pengawal pribadi MBS dalam aksi pembunuhan tersebut.

Identifikasi yang lekat antara MBS dan PIF akhirnya membuat perusahaan investasi itu ikut kena getah dari skandal Khashoggi.

Konferensi Future Investment Initiative (FII) yang digelar PIF pekan kemarin adalah salah satunya. Beberapa tamu undangan membatalkan kehadirannya di acara konferensi ekonomi yang kerap dijuluki sebagai ''Davos di Gurun'' itu.

Mereka yang batal hadir adalah Direktur Dana Moneter Internasional, Christina Lagarde, Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin. Menteri-menteri dari Inggris, Prancis, dan Belanda juga mengambil sikap yang sama. Dari kalangan pelaku bisnis, bos Virgin Group Richard Branson adalah yang pertama kali membatalkan kedatangannya. Langkah itu diikuti oleh petinggi dari JP Morgan Chase, HSBC, Goldman Sachs, Deloitte, McKinsey, dan perusahaan investasi Blackrock.

Kendati beberapa tokoh itu tidak hadir, acara Davos di Gurun itu tetap menghasilkan beberapa kesepakatan kerja sama dengan Arab Saudi. Diperkirakan, ada perjanjian senilai lebih dari US$50 milyar yang disepakati perusahaan Arab Saudi dengan mitra-mitra luar negerinya.

Aramco mengumumkan bahwa mereka telah menandatangani 15 nota kesepahaman senilai US$34 milyar dengan perusahaan dari delapan negara, termasuk Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris. Perjanjian bisnis itu terus berjalan, karena CEO yang tidak hadir mengutus anak buahnya untuk tetap menghadiri acara tersebut.

''Peristiwa terakhir [Khashoggi] telah meningkatkan risiko berbisnis di Saudi. Dan terlihat bahwa perusahaan internasional bereaksi keras terhadap insiden Khashoggi,'' kata Jubin Jose, penasihat investasi untuk Gulf Investment Fund, yang dikutip oleh harian The Financial Times.

Lebih lanjut, Jubin mengatakan bahwa sikap Kerajaan Saudi yang menutup-tutupi pembunuhan wartawan akan membuat mitra luar negeri dan perusahaan asing makin malas berbisnis dengan mereka. Bila sampai itu terjadi, maka gagasan Pangeran Muhammad bin Salman untuk meningkatkan peran sektor swasta dan investasi asing, akan layu sebelum berkembang. Padahal saat ini, Saudi sedang sangat membutuhkan sumber energi baru untuk menggerakkan perekonomian mereka yang selama ini terlalu bergantung pada minyak bumi.

Sejak harga minyak turun pada 2014, pertumbuhan ekonomi Saudi menjadi stagnan dan memasuki resesi pada 2017 lalu. Menurut data Pemerintah Saudi, pengangguran di triwulan pertama 2018 kemarin mencapai 12,9%. Angka itu merupakan yang tertinggi yang pernah terjadi. Berdasarkan sensus kependudukan, sekitar dua pertiga populasi di sana merupakan anak muda berusia 29 tahun. Dan tingkat pengangguran di usia produktif itu mencapai 25%. Artinya, ada satu dari empat anak muda di Saudi tidak punya pekerjaan.

Sebenarnya, kondisi itu pulalah yang membuat Pangeran Muhammad bin Salman mendapat dukungan luas ketika ia diangkat menjadi putra mahkota kerajaan. Ia menjanjikan transformasi ekonomi dan juga masyarakat yang lebih toleran. Ia mulai membolehkan perempuan untuk punya peran lebih di luar rumah.

Sekitar dua tahun lalu, Pemerintah Arab Saudi juga meluncurkan rencana transformasi ekonomi yang bertujuan memperkecil peran negara dan meningkatkan peran swasta dalam perekonomian. Targetnya adalah menciptakan lebih dari 450.000 lapangan kerja pada 2020 mendatang. Ide Muhammad bin Salman diapresiasi banyak pihak. Hampir tidak ada yang meragukan kemampuan Saudi untuk bisa bangkit kembali setelah harga minyak bumi melorot.

Kendaraan utama yang rencananya dijadikan sebagai lokomotif perubahan ekonomi Saudi itu adalah PIF yang dipimpin oleh MBS sendiri. Sang pangeran ingin mengubah perusahaan investasi yang berdiri pada 1971 itu bukan lagi sekadar pemegang saham pasif di berbagai perusahaan milik kerajaan seperti produsen kimia Sabic, National Commercial Bank, dan Saudi Telecom.

Dahulu, PIF hanya memberikan kredit atau pinjaman saja. Aksi korporasi PIF yang tergolong berani adalah mendirikan Sanabil, perusahaan pengelola dana ventura dengan modal awal sebesar US$5 milyar.

Setelah di bawah kendali MBS, PIF semakin agresif berinvestasi di berbagai perusahaan. Mulai bidang penghemat energi dan pengolahan limbah, hiburan, pertahanan, wisata rohani, sampai perusahaan berteknologi tinggi. Dan kini, skandal Khashoggi membuat rencana-rencana besar tersebut jadi tanda tanya.

Cavin R. Manuputty