Jakarta, GATRAReview.com – Uni Eropa (UE) membantah keterlibatan mereka dalam tudingan diskriminasi produk sawit Indonesia. Menolak mengakui standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai acuan kelayakan.
Sudah menjadi informasi terbuka kalau Indonesia kesulitan memasok produk sawitnya ke negara – negara yang tergabung dalam UE. Salah satu persoalannya, UE menyebut kelapa sawit sebagai tanaman berisiko karena sistim budidayanya tidak menggunakan prinsip – prinsip berkelanjutan. Apalagi, perubahan penggunaan lahan tidak langsung (ILUC) terbilang tinggi.
Standar ISPO yang menjadi skema rujukan Indonesia untuk menunjukkan prinsip berkelanjutan dalam menanam sawit pun tidak digubris. Mereka, saat ini masih mengacu pada Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Konselor Perubahan Iklim dan Lingkungan Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Michael Bucki mengatakan sampai saat ini masih belum mengakui Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) secara resmi.
“ISPO tidak termasuk skema (kelapa sawit berkelanjutan) kami. Skema tersebut (ISPO) adalah skema yang berlaku di luar negeri dan nasional (Indonesia),” ujarnya kepada wartawan di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (5/9) seperti dilaporkan Syah Deva Ammurabi dari Gatra.
Padahal sebelumnya sertifikasi perkebunan kelapa sawit menjadi syarat masuknya produk kelapa sawit ke UE, karena statusnya yang berisiko tinggi dalam perubahan penggunaan lahan tidak langsung (ILUC), berdasarkan Delegated Act yang terbit per 1 Februari 2019.
“Saya belum dapat melakukan perhitungan [berdasarkan ISPO]. Saya percaya mengenai upaya untuk melakukan legalitas produsen kelapa sawit,” ucapnya. Meski begitu, Bucki mengatakan pihaknya sangat terbuka untuk berdiskusi dengan pemerintah Indonesia terkait sertifikasi ISPO. Selain itu, Ia mengaku terbuka terhadap hasil penelitian terkait ISPO.
Untuk diketahui sebelumnya, perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengenal dua jenis sertifikat yaitu Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang merupakan standar internasional dan Indonesian Sustainable Palm Oil (IPSO) yang dikeluarkan Indonesia.
Sementara, pemerintah berencana menerbitkan Peraturan Presiden yang mewajibkan sertifikasi ISPO bagi seluruh produsen kelapa sawit baik korporasi maupun petani. Perpres ini, nantinya akan merevisi regulasi sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Pertanian nomor 11 tahun 2015 yang mengatur ISPO hanya bersifat sukarela.
Meski membantah ada pola diskriminasi terhadap sawit Indonesia, UE memberlakukan bea masuk anti-subsidi (BMAS) sementara terhadap produk biodiesel asal Indonesia sebesar 8-18 persen, mulai 6 September lalu. Kepala Bidang Ekonomi dan Perdagangan UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Rafaelle Quarto, menepis tudingan adanya diskriminasi terhadap produk kelapa sawit Indonesia.
"Perlindungan dagang merupakan aturan yang diciptakan untuk membuat pasar yang seimbang. Kami juga ingin melakukan perdagangan yang adil," katanya di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (5/9).
Pengenaan BMAS sementara, lanjutnya, dilakukan berdasarkan laporan pengusaha-pengusaha biodiesel Eropa yang mengeluhkan murahnya harga biodiesel asal Indonesia. Quarto beralasan pihaknya tidak hanya mengenakan bea antisubsidi biodiesel terhadap Indonesia, tapi juga kepada Argentina, sebesar 25-33,4%.
Soal pengenaan BMAS ini, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, pemerintah telah mengirim surat kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait keberatan Indonesia atas pengenaan bea masuk antisubsidi (BMAS) asal UE. "Kita sudah kirim surat ke WTO. Saya sudah kirim surat ke Malmström [Komisioner Perdagangan UE] mengenai masalah itu," ujarnya kepada awak media di Double Tree by Hilton Hotel, Jakarta, Rabu (4/9).
Enggar bahkan berencana membalasnya dengan pengenaan bea masuk produk olahan susu (dairy product) dari UE. "Pertanyaannya adalah, mereka mengenakan sampai 18% (BMAS). Boleh juga dong kita kenain," tuturnya. Enggar mendorong para pengusaha untuk mencari alternatif pasar produk olahan di luar UE. "Kenapa harus dari eropa? Kenapa tidak dari india? Kenapa tidak dari Amerika? Kenapa tidak dari australia atau lainnya?" ujarnya.
Absurditas Isu Lingkungan
Alih – alih bersandar pada isu lingkungan, UE justru melakukan aksi proteksionisme produk minyak nabatinya, rapeseed oil (RSO). UE melakukan berbagai cara agar Crude Palm Oil (CPO) Indonesia tertekan di pasar Eropa. Parlemen Eropa dan lembaga swadaya masyarakat setempat, misalnya, gencar menuding komoditas CPO Indonesia sebagai penyebab deforestasi alias penggundulan hutan.
Bersamaan dengan aksi itu, otoritas UE menerapkan bea masuk antidumping (BMAD) untuk produk turunan CPO, biodiesel, asal Indonesia sebesar 8,8%-23,3% sejak 2013. Kebijakan ini muncul karena UE menganggap harga biodiesel Indonesia di pasar UE terlalu murah. Indonesia menggugat kebijakan BMAD UE ke World Trade Organization (WTO).
Hasilnya, awal 2018, Dispute Settlement Body (DSB) WTO menetapkan bio diesel Indonesia terbukti tidak melakukan dumping. Pasca-putusan WTO, ekspor bio die sel Indonesia ke Eropa me ning kat tajam. Berdasarkan data Agrarmarkt InformationsGesellschaft (AMI), lembaga data per tanian Jerman, pada 2018, ekspor bio diesel Indonesia ke UE mencapai 785.000 ton atau 23,6% dari total im por biodiesel Eropa, yaitu sebesar 3,33 juta ton.
Sebagai pembanding, pada 2017, ekspor biodiesel Indonesia ke UE hanya 24.000 ton atau 2% dari to tal impor biodiesel UE sebesar 1,16 juta ton. Tapi pada Maret hingga awal Agustus 2019, Komisi Eropa melakukan penyelidikan terhadap biodiesel Indonesia. UE kembali menuding biodiesel Indonesia terlalu murah, karena pihak eksportir mendapat bantuan subsidi.
Dari hasil penyelidikan itulah UE kemudian menetapkan Bea Masuk Antisubsidi (BMAS) sebesar 8% - 18% untuk bio diesel Indonesia berlaku sejak 13 Agustus lalu, dipercepat dari jadwal yang harusnya berlaku 6 September. Setelah penetapan sementara tarif BMAS, akan meminta tanggapan negara – negara Eropa atas putusan itu. Jika tidak ada penolakan, maka tarif BMAS final akan diputuskan Januari 2020 dan berlaku lima tahun.
Jelas, akibat aturan ini biodiesel Indonesia semakin sulit bersaing di Eropa. Dengan begitu, target ekspor biodiesel ke Eropa sebesar 432.000 ton tahun ini, seperti yang dipredeksi Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) terancam gagal.
Direktur Pengamanan Perdagangan, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Pradnyawati, mengatakan bahwa BMAS sementara masih memungkinkan untuk dicabut, diturunkan, atau dinaikkan pada kepu tusan final Januari 2020. “Kalau itu nanti tak memuaskan kita, masih terbuka untuk menggugat (ke WTO),” katanya kepada Syah Deva Ammurabi dari GATRA.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Kanya Lakshmi, mengatakan bahwa tarif BMAS sementara akan berdampak pada penurunan permintaan CPO. Maklum, CPO adalah bahan baku utama biodiesel. Kanya memperkirakan, lebih dari 50% penggunaan CPO untuk bio diesel yang diekspor ke Eropa akan terpangkas. Meski demikian, bagi Kanya, persoalan utama dari pene tapan BMAS bukan pada besaran tarif, melainkan pada dam pak tidak langsungnya. Yaitu, menim bulkan persepsi ke negaranegara lain. Ujung-ujungnya, urusan per - sep si itu di khawa tirkan akan mempe ngaruhi permintaan CPO ataupun biodiesel Indonesia.
“Bisa ber dampak pada penurunan ekspor ke negara lain yang ter penga ruh oleh Eropa,” ucap Kanya kepada war - tawan GATRA, Ryan Puspa Bangsa. Sementara itu, untuk mengatasi penurunan permintaan CPO atau pun biodiesel ke Eropa, Kanya me lan jutkan, pihaknya bisa menggeser pasar ekspor ke negara lain dan memanfaatkan peluang serapan dalam negeri.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P. Roeslani, menilai tarif BMAS lebih sebagai bentuk proteksi Eropa. Kepada wartawan GATRA, Qanita Azzahra, Rosan menyebut pemerintah perlu meningkatkan penggunaan CPO untuk kebutuhan biodiesel dalam negeri agar kebijakan BMAS tidak memukul kinerja ekspor Indonesia dan tidak menekan pertumbuhan ekonomi. “Salah satu cara mengantisipasinya adalah dengan program bahan bakar B100,” katanya.