Jakarta, Gatra.com - Polda Jawa Timur menetapkan satu tersangka baru kasus ujaran kebencian dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, AD. Penetapan AD menambah daftar tersangka tindakan rasisme setelah sebelumnya polisi mencokok TS dan SA pekan lalu.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menuturkan, AD berperan sebagai buzzer di media sosial.
"AD sebagai buzzer aja, dia yang memviralkan beberapa foto, video dan narasi yang sifatnya hoaks," kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (9/9) malam.
Dedi mengatakan, AD dijerat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang hukum pidana berita bohong.
Sebelum AD, polisi menetapkan SA terkait ujaran diskriminasi dan rasisme terhadap sejumlah mahasiswa Papua di Surabaya. Penetapan SA dilakukan setelah polisi memeriksa sejumlah saksi dan uji laboratorium forensik.
"Dari hasil pemeriksaan lanjutan, beberapa saksi kemudian dari hasil uji labfor digital ada enam konten. Beberapa video yang sudah diperiksa saat ini, Polda Jatim menetapkan satu tersangka lagi atas nama SA," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, Jumat (30/8).
Dedi menambahkan, peran SA seperti tersangka sebelumnya, TS, yang melakukan penghinaan terhadap mahasiswa Papua secara langsung. SA dan TS berada di satu lokasi.
"[Menghina] langsung, kemudian divideokan dan video ini dijadikan alat bukti digital," ujar Dedi.
Saat ditanya kalimat yang memicu sakit hati mahasiswa dan pecahnya aksi di sejumlah titik di Papua, Dedi enggan membeberkan hal itu. Ia hanya menyebut, kalimat SA berbeda dengan kalimat yang dilontarkan TS.
Diketahui, 43 mahasiswa Papua di Surabaya diangkut paksa oleh aparat dan organisasi masyarakat (ormas) pada Sabtu, (17/8) lalu. Alasan pengangkutan itu diduga untuk pemeriksaan pengerusakan bendera Merah Putih.
Namun, saat pengangkutan paksa, aparat dengan ormas disebut menggerebek pintu asrama mahasiswa dan menyemprotkan gas air mata. Beberapa orang itu juga melontarkan ujaran rasis yang merujuk pada penghinaan fisik mahasiswa Papua.
Buntut penggerebekan itu, pecahnya aksi tolak rasisme di sejumlah titik di Papua dari Senin (19/8) hingga saat ini. Selain menolak rasisme, aksi massa juga menuntut referendum.