Jakarta, Gatra.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendesak DPR segera mensahkan revisi Undang-Undang (UU) Perkawinan yang sudah diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 13 Desember 2018 lalu, terkait batas minimal usia perkawinan.
"Kami sudah mendapatkan surat presiden tertanggal 6 September 2019, tentang revisi UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 yang mengacu pada perubahan batas minimal usia perkawinan. Dengan adanya surat presiden ini, maka Kemen PPPA mendorong DPR untuk secepatnya mensahkan revisi UU tersebut," terang Menteri PPPA, Yohana Yembise di Media Center Kemen PPPA, Jakarta, Senin (9/9).
Baca Juga: Perkuat SDM Unggul Melalui RUU Perkawinan
Adapun, dasar acuan yang digunakan oleh Kemen PPPA adalah UU Perlindungan Anak, bahwa negara harus menjamin hak anak termasuk melindungi dari praktik perkawinan anak. Perkawinan anak ini dirasa telah melanggar pemenuhan hak-hak anak.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017, 1 dari 4 anak menikah pada usia anak. Ada 23 provinsi yang memiliki angka di atas 25% pernikahan anak. Setiap tahunnya juga dilaporkan sebanyak 340 ribu anak perempuan menikah di usia anak.
"Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena anak kehilangan hak mereka yang seharusnya dilindungi oleh negara. Negara ini sedang berada di situasi darurat perkawinan anak. Kalau bisa September sudah bisa disahkan," ujarnya.
Baca Juga: Ekonomi dan Kemiskinan, Indonesia Darurat Perkawinan Anak
Sebelumnya, revisi UU Perkawinan ini mengacu pada batas usia melakukan perkawinan adalah 21 tahun. Namun, dalam hasil beberapa kali pertimbangan diputuskan untuk batas minimal usia perkawinan adalah 19 tahun.
"Di Panja DPR minta 18 tahun, tapi pemerintah tetap pada usia 19 tahun karena dasarnya itu adalah UU Perlindungan Anak dari usia 0-18 tahun. Jadi, setelah 18 tahun baru boleh melakukan perkawinan. Tadinya saran kami antara 19-21 tahun, namun setelah melalui beberapa pertimbangan diputuskanlah 19 tahun," pungkasnya.