Jakarta, Gatra.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Feri Amsari menilai, Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) cacat formil. Hal itu dikarenakan, draf revisi UU KPK yang saat ini dipegang DPR, tidak memenuhi prosedur. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-Undangan.
"Jadi, secara formil pembentukannya cacat prosedural. Sesuatu yang cacat prosedural akan dianggap batal demi hukum. Jadi, batal dengan sendirinya. Tidak dibutuhkan keputusan peradilan yang menyatakan sah atau tidak absahnya peraturan itu," kata Feri saat ditemui di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (8/9).
Lebih lanjut, Feri menuturkan, salah satu indikator yang menyatakan revisi UU KPK cacat formil, tidak masuknya peraturan perundang-undangan itu dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. Namun, tiba-tiba UU itu muncul lagi, setelah sebelumnya pernah dibahas pada tahun 2016 lalu.
Menurutnya, penting bagi DPR RI untuk membahas undang-undang yang tercantum dalam Prolegnas. Peraturan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mewajibkan DPR mendahulukan undang-undang yang sudah ada di dalam Prolegnas.
"Sudah ada putusan MKD yang menyatakan, wajib bagi DPR memenuhi Prolegnas yang ada, sehingga tanpa ada surprise dari presiden, bisa dibahas. Ini juga tidak masuk akal. Wajib itu bukan berarti tidak memenuhi syarat prosedural dalam pembentukan UU," ujar Feri.