Pekanbaru, Gatra.com - Kalau ditengok dari rating penyumbang devisa terbesar untuk Negara, kelapa sawit sudah bertengger di posisi puncak. Menyetor sekitar Rp471,31 triliun pada 2017. Setoran ini jauh di atas Minyak dan Gas (Migas) yang hanya di angka Rp390,48 triliun di tahun yang sama.
Seksinya duit kelapa sawit ini akhirnya membikin daerah penghasil kelapa sawit mulai melirik Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor ini khususnya Crude Palm Oil (CPO), tak terkecuali Riau. Sebab kalau dari Migas saja daerah bisa mendapat DBH, kenapa dari kelapa sawit enggak.
Hanya saja kata anggota DPR RI terpilih asal Riau, Achmad, saat ini ada persoalan birokrasi yang membikin DBH kelapa sawit ini belum nongol. Kendala ini menurutnya dilatari oleh masalah regulasi yang menjadi patokan birokrasi untuk bekerja.
"Ini kan persoalan birokrasi. Karena DBH CPO belum diusulkan dalam bentuk regulasi. Tentu harus ada cara regulasi itu muncul," kata politisi Partai Demokrat itu dalam salah satu diskusi di kota Pekanbaru, Sabtu (7/9).
Mantan Bupati Kabupaten Rokan Hulu itu menceritakan perlunya penggalangan daerah sentra Sawit untuk memperjuangkan DBH tadi. Kalau upaya itu hanya dilakukan oleh Riau sendiri kata Achmad, akan terasa sulit dan berat.
"Dulu saat saya masih Kadispenda Riau, kita juga memperjuangkan DBH migas dan itu dengan melibatkan daerah lain seperti Sumatera Utara (Sumut) dan Sumatra Selatan. Untuk DBH CPO ini juga harus seperti itu, sehingga ada desakan untuk menerbitkan regulasi, kuat," katanya.
Meski begitu, Ahmad berharap upaya mencari uang untuk daerah jangan melulu pada penerbitan regulasi DBH CPO. Dia menilai ada sejumlah opsi pemasukan yang dapat diperjuangkan untuk daerah.
"PBB pertambangan, PBB perhutanan jika diberikan ke daerah itu sangat membantu. Regulasi untuk ini juga harus kita perjuangkan," ajaknya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Jon Erizal, membenarkan adanya hambatan regulasi perihal DBH CPO tadi. Hingga kini kata Jon, Kementerian Keuangan belum memiliki regulasi yang menyebut bea keluar CPO bagian dari DBH ke daerah.
"Bea keluar CPO itu masih dihitung sebagai pendapatan negara bersama pemasukan lainya seperti pajak. Jadi dananya langsung dilebur dengan sumber pendapatan lainya," katanya.