Jakarta, Gatra.com - Deputi II Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Erasmus Cahyadi mengatakan, masyarakat adat tidak menjadi subjek penerima Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Katanya, dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP) subjek hanya disebutkan sebagai 'kelompok masyarakat'.
"Mengenai subjek penerima TORA, masyarakat adat tidak disebutkan secara spesifik sebagai subjek penerima TORA. Hanya disebutkan, salah satunya adalah 'kelompok masyarakat', sehingga tidak adanya batasan mengenai siapa saja yang dimaksud dengan 'kelompok masyarakat' di dalam RUUP tersebut," ujarnya dalam Media Briefing tentang RUU Pertanahan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (6/9).
Lanjutnya, definisi tersebut mengindikasikan, kelompok itu bukanlah kelompok yang tumbuh secara alamiah seperti masyarakat adat tetapi dibentuk. Dalam prakteknya saat ini, ia mengatakan masyarakat adat juga tidak begitu mudah mendorong pengakuan hak atas wilayah adatnya dengan menggunakan istilah tersebut.
Selain itu, TORA bukanlah alat menyelesaikan konflik bagi masyarakat adat. Sebaliknya TORA dapat dipandang sebagai pembiaran bahkan pemutihan terhadap tanah-tanah yang di masa lalu maupun sekarang yang berada dalam konflik.
"TORA yang berasal dari bekas HGU, bekas tambang atau dari kawasan hutan misalnya dianggap begitu saja sebagai 'tanah yang dikuasai negara' lalu dijadikan TORA. Padahal tanah tersebut boleh jadi merupakan bagian dari wilayah adat yang dirampas melalui mekanisme perijinan dan peruntukkan kawasan hutan," ujarnya.
Sehingga, ia mengatakan, ketika tanah tersebut dialokasikan sebagai TORA, lagi-lagi masyarakat adat tidak mudah untuk mengaksesnya. Sebabnya, karena satu-satunya pintu masuk bagi masyarakat adat adalah merebut makna 'kelompok masyarakat' yang disebut di dalam RUUP agar menjadi subjek penerima TORA.