Jakarta, Gatra.com - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Maria Sri Wulan Sumardjono menyatakan bahwa RUU Pertanahan sama sekali tidak berpihak pada masyarakat lemah dan terpinggirkan seperti petani, perempuan, dan masyarakat hukum adat. Sebaliknya, RUU Pertanahan justru sangat seksi bagi mereka yang kuat posisi tawarnya dari segi ekonomi.
"Bagi pihak yang kuat posisi tawarnya, dapat memperoleh perpanjangan hak untuk kedua kalinya dengan pertimbangan ekonomi, modal dan akses politik yang sangat sulit untuk dijangkau masyarakat awam. Kemudian apabila pihak yang kuat posisi tawar melanggar batas maksimum penguasaan/pemilikan tanah, mereka dapat perpanjang asal bisa bayar pajak yang ditentukan," katanya dalam Media Briefing tentang RUU Pertanahan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (6/9).
Ia mengatakan, hal tersebut bertentangan dengan UUPA Nomor 5 Tahun 1960, dimana dalam aturannya ditegaskan apabila pemilik tanah melanggar batas maksimum, maka wajib untuk melepaskan tanahanya. Sementara, katanya, dalam RUU Pertanahan, pihak yang kuat justru bisa perpanjang tanpa perincian jelas asal bisa bayar pajak.
"Reforma agraria tidak dianggap penting dan bahkan pengaturannya hanya menyalin dari Perpres Nomor 86 Tahun 2018 dan tidak memasukkan RA dalam pasalnya. Kemudian menghambat proses pengukuhan penetapan hak ulayat dan menghapus kemungkinan pemberian hak atas tanah di atas tanah ulayat dengan perserujuan masyarakat hukum adat, kecuali Hak Pakai," katanya.
Sehingga, Maria menilai Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP) belum dapat dijadikan landasan untuk mencapai keadilan agraria. Ia mengatakan RUUP tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan UU Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.
"RUU Pertanahan menafikan UU sektoral dan bahkan menggantikan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 serta melanggar TAP MPR Nomor IX/2001. Seharusnya RUUP menerjemahkan cita-cita keadilan agraria sesuai tujuan Nawacita yakni kepastian hukum kepemilikan tanah, cegah krisis ekologi, atasi konflik, mengurangi kemiskinan, dan turunkan ketimpangan ekonomi," ujarnya. Walhasil, RUU Pertanahan hanya seksi untuk Tuan Tanah.