Jakarta, Gatra.com - Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, pengesahan revisi Undang-undang Nomor 30 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh DPR cacat secara prosedural.
Menurutnya, pengesahan revisi itu tanpa persetujuan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebelumnya, dikabarkan bahwa pemerintah telah menyetujui wacana revisi UU KPK lewat Luhut Binsar Panjaitan ketika menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP).
Dalam hal ini, Ray mempertanyakan kewenangan KSP saat itu, sehingga dapat mewakili Presiden untuk menyetujui perumusan sebuah undang-undang. Padahal, secara prosedural, tugas KSP seharusnya hanya mengurusi internal presiden.
"Seberapa kewenangan KSP mewakili presiden dalam persetujuan perumusan sebuah undang-undang," ujar Ray di Kantor TII, Jakarta Selatan, Jumat (6/9).
Kemudian, ia membeberkan, sampai saat ini revisi UU KPK bukan RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional 2019, yang telah disepakati antara DPR dan Pemerintah.
Ray berujar, tidak ada urgensi dari pengesahan beleid. Namun, ujungnya muncul dalam sidang paripurna di DPR RI, Kamis (5/9). Bahkan disetujui oleh seluruh di DPR RI.
Hanya terdapat tiga alasan diperbolehkan mengambil jalan pintas, tanpa masuk prolegnas. Pertama, mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi. Kedua, adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), sehingga semestinya segera dibahas DPR. Ketiga, ada peristiwa mendesak, sedangkan ketentuan dan aturan belum terbentuk.
Putusan MK nomor 36/PUU-XV/2017 menyatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bagian dari eksekutif. Ray mengakui, putusan itu bisa menjadi acuan. Namun, menurutnya apa yang dilakukan oleh DPR dalam revisi UU ini jauh dari putusan MK tersebut.
"Kalau lihat poin-poin yang akan direvisi oleh DPR, itu menyimpang dari putusan Mahkamah Konstitusi," tuturnya.
Menurutnya, hanya poin seputar lembaga eksekutif yang berdasarkan putusan MK tersebut. Sedangkan, beberapa poin lainnya seperti penyadapan, SP3, dan Dewan Pengawas, jauh dari putusan tersebut.