Jakarta, Gatra.com - Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Sandrayati Moniaga, menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan menghidupkan domein verklaring dan menghidupkan spirit kolonialisme.
"RUU Pertanahan menghidupkan kembali domein verklaring di mana nantinya pengaturan tentang hak atas pertanahan kembali ke zaman kolonial. Dalam RUU tersebut disebutkan apabila tanah tidak bisa dibuktikan pemiliknya dalam kurun waktu 2 tahun, otomatis menjadi sah milik negara dan ini sama persis saat zaman kolonial dulu," katanya dalam Media Briefing tentang RUU Pertanahan di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (6/9).
Baca juga: YLBHI Kritik Pasal RUU Pertanahan, Bertentangan Dengan KIP
Menurutnya, RUU Pertanahan tidak mengatur mekanisme penyelesaian konflik agraria. Konflik agraria yang komprehensif akibat kebijakan pemerintahan otoriter masa lalu dan dinilai justru akan menimbulkan permasalahan baru.
"RUU Pertanahan tidak mengatur penyelesaian konflik agararia yang terjadi di masa lalu. Tidak ada satu upaya khusus yang dilakukan oleh pemerintah untuk memikirkan penyelesaian konflik agraria yang begitu massif di Indonesia," ujarnya.
Baca juga: ATR/BPN: RUU Pertanahan Tak Langgar UU Sektor
Sementara itu, saat ini laporan konflik agraria yang diterima Komnas HAM terus meningkat. Awalnya, pada 2015, aduan konflik agraria mencapai 109 kasus, satu tahun kemudian meningkat menjadi 223 kasus dan terakhir pada 2017, Komnas HAM telah menerima 269 laporan.
Adapun domein verklaring adalah pernyataan yang menegaskan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu miliknya, maka tanah itu adalah milik (eigendom) negara.