Jakarta, Gatra.com - Wahid Foundation mengungkapkan dalam laporan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB), bahwa terjadi 48 tindakan pemidanaan berdasarkan agama/keyakinan selama tahun 2018.
"Laporan ini menemukan bahwa tindakan pelanggaran KBB yang paling banyak terjadi adalah pemidanaan berdasarkan agama/keyakinan 48 tindakan, Kasus pemidanaan pada 2018 ini sama dengan temuan 2017 menjadi tindakan pelanggaran yang paling banyak terjadi," ujar Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi, dalam peluncuran Laporan KBB di Gedung IASTH, Universitas Indonesia, Kamis (5/9).
Salah satu kasus pemidanaan yang paling menyedot perhatian publik, kata Mujtaba, adalah kasus Sukmawati Sukarnoputri, putri kedua presiden pertama RI Soekarno yang membaca puisi Ibu Indonesia, yang antara lain disebutkan "lebih suka sari konde daripada cadar", bahkan "lebih suka kidung daripada azan".
Atas puisinya tersebut, ormas Islam, seperti Persaudaraan Alumni 212, Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (GMII). Forum Anti Penodaan Agama (FAPA), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Street Lawyer dan Kebangkitan Jawara, serta Pengacara Indonesia (Bang Japar lndonesia), melaporkan Sukmawati ke Polda Metro Jaya pada 3 April 2018 atas tuduhan melakukan penistaan agama.
"Dari semua bentuk tindakan pelanggaran KBB di atas, tindakan pemidanaan berdasarkan agama/keyakinan merupakan tindakan yang paling banyak dilakukan aktor negara yakni penegak hukum sebanyak 27 tindakan," kata Mujtaba.
Terkait pemidanaan tersebut, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan, yang menjadi akar masalah adalah pasal penodaan agama yang kemudian diperbarui dalam Revisi KUHP yang akan segera diketok DPR.
Dalam Pasal 304 draf RKUHP, setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
"Akan diketok pasal penodaan agama. Pasal penodaan agama jadi bom waktu. Masak dengan kasus Ahok dan Meliana kita tidak melihat?" ujar Isnur.
Isnur mengajak forum untuk mendesak Kementerian Hukum dan HAM serta DPR RI agar menghapus pasal penodaan agama dalam Revisi UU KUHP. "Apalagi ada pasal 2 ayat (1) hukum yang hidup di masyarakat. KUHP mengakui itu sebagai hukum bisa jadi tindak pidana bisa lebih bahaya lagi," kata Isnur.