Bogor, Gatra.com - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bersama Institut Teknologi Bandung (ITB) masih terus melakukan penelitian mengenai green diesel jenis B100. Bahkan, saat ini ITB telah memiliki katalis merah putih untuk proses tracking penelitian ini.
"Kita di BBPI juga ikut mengembangkan, dalam arti bagaimana kalau mini plant-nya itu akan dibangun. Saya sudah meminta salah satu balai kita yaitu BBLM (Balai Besar Logam dan Mesin) untuk ikut di dalam penelitian B100," ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BBPI) Kemenperin, Ngakan Timur Antara di Bogor, Kamis (5/9).
Baca Juga: Ini Empat Catatan PT Shell tentang B100
Selain itu, pemerintah terus membuka peluang bagi semua pihak yang ingin menjalin kerja sama dalam penelitian B100 ini. Menurutnya, proyek penelitian besar seperti B100 ini tidak dapat dilakukan oleh salah satu institusi saja. "Maka kita harus kerja sama dengan sebanyak-banyaknya pihak. Tetapi memang harus ada tupoksi dan pembagian tugasnya," jelasnya.
Ia menyebutkan, terwujudnya B100 akan berdampak pada devisa negara. Pengurangan impor bahan bakar akan menjadi salah satu usaha penghematan devisa. Mengingat selama ini Indonesia mengimpor minyak mentah, tentu menguras devisa.
Tak hanya untuk menghemat devisa, pengadaan B100 bisa membantu penyerapan sawit dalam negeri. Sehingga pasar sawit Indonesia bisa bertahan, tidak didikte oleh Eropa saja seperti yang kerap terjadi selama ini.
Baca Juga: Airlangga Optimis B100 Bisa Diproduksi di 2021
Meskipun begitu, Ngakan mengatakan, harga B100 pada tahap awal nantinya akan lebih mahal dari bahan bakar minyak lain. Menurutnya, skala produksi dan konsumsi menjadi tolok ukur dalam penentuan harga B100 ini.
"Kalau skalanya masih kecil ya kemungkinan harga mungkin bisa lebih mahal. Tapi kalau masif nanti, saya kira mungkin harganya bisa bersaing. Kalau skalanya besar bisa mencapai harga ekonomis," papar Ngakan.