Jakarta, Gatra.com - Politikus senior Partai Golkar, Akbar Tandjung, menolak diberlakukannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dia mengkhawatirkan jika GBHN hidup kembali akan mengganggu kedaulatan rakyat.
Akbar di Hotel Sofyan, Jalan Cut Meutia, Jakarta Pusat, Rabu (4/9), menilai wacana menghidupkan lagi GBHN perlu dikaji lebih mendalam karena ada alasan yang jelas.
Baca juga: Menakar Sisi Positif dan Negatif Penerapan GBHN
Meski demikian, sebenarnya Akbar mengaku tidak mempermasalahkan wacana dikembalikannya GBHN, namun hanya sebatas untuk kepentingan pembangunan nasional. Namun secara tegas ia menolak jika rencana tersebut kemudian akan membuat MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara seperti pada Orde Baru (Orba).
"Yang saya khawatirkan kita bicara GBHN dalam konteks menjadikan MPR ini lembaga tertinggi negara. Baiknya kita jangan menjadikan lembaga tertinggi negara. Nanti bisa lagi pemilihan presiden itu melalui MPR. Sedangkan rakyat kan sudah di posisi mereka dengan kedaulatan, termasuk dalam menentukan pemilihan presiden," ujarnya
Selain itu, dia mengimbau jika wacana GBHN tetap ingin direalisasikan, maka pemerintah perlu melibatkan lembaga-lembaga lain dalam penyusunan haluan negara tersebut. Ini sangat penting agar terciptanya kontrol yang baik terhadap pembangunan nasional.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Kedai Kopi, Hendri Satryo, menilai tidak ada urgensi yang mendesak untuk dikembalikannya GBHN. Bahkan, ia mencurigai wacana tersebut dilakukan karena gagalnya program Nawacita milik Joko Widodo (Jokowi).
Baca juga: Mahfud MD: PDIP Usul Amandemen UUD Soal MPR dan GBHN
"Jadi menurut saya, terkait Haluan negara ini, kalau dikatakan urgen atau tidak urgen, kalau menurut saya tidak urgen sekarang. Kenapa? Karena kalau urgen itu dilaksanakan harusnya sejak 2014," ujarnya.
Kendati begitu, Hendri melihat substansi Haluan Negara yang di klaim versi baru ini memiliki sisi positif. Apalagi setelah adanya penjelasan bahwa wacana ini tidak akan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.