Home Politik Panen Tembakau, Petani Dihantui Kebebasan Impor

Panen Tembakau, Petani Dihantui Kebebasan Impor

TemanggungGatra.com - Petani Tembakau Kabupaten Temanggung memasuki masa panen. Mereka dihantui harga jual yang anjlok, akibat pasar dibanjiri tembakau impor.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa, panen raya tembakau tidak akan memberi keuntungan bagi petani jika pemerintah tidak membatasi impor.

Dia mendesak pemerintah melaksanakan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 23 tahun 2019 tentang Rekomendasi Teknis Izin Impor Tembakau. Aturan itu mewajibkan importir membeli tembakau lokal 2 kali lipat dari jumlah impor.

“Tembakau impor saat ini menguasai separo dari total kebutuhan tembakau kita. Petani kecil yang paling dirugikan. Kita membuka impor produk pertanian dan perkebunan. Sektor yang terdampak, salah satunya tembakau,” kata Dwi Andreas, Rabu (4/9).

Kebutuhan tembakau kering nasional saat ini sekitar 330 ribu ton per tahun, sedangkan produksi lokal sekitar 170 ribu-200 ribu ton. Kekurangan jumlah tersebut dipenuhi melalui impor.

Peta perdagangan Indonesia di pasar dunia berubah setelah pemerintah menandatangani perjanjian dengan IMF. Beberapa negara menikmati kemudahan ekspor produk ke Indonesia dengan bebas pajak.

“Kita menandatangi perjanjian perdagangan bebas dengan Australia terkait impor. Akibatnya 99 persen produk ekspor Australia (ke Indonesia) akan bebas pajak," ucapnya. 

Dalam perjanjian itu, Indonesia juga bebas ekspor ke Australia. Tapi berupa produk non-pertanian seperti minyak bumi. Sebaliknya, hampir seluruh komoditi ekspor Australia adalah produk pertanian yang akan menekan pasar dalam negeri.

“Bayangkan jika Australia menanam tembakau dengan kebebasan ekspor itu. Australia bisa menanam tembakau di lahan luas dengan biaya produksi yang lebih murah dibandingkan Indonesia," ujarnya. 

Tiongkok adalah negara ancaman impor terbesar tembakau kering dengan tingkat produksi mencapai 2,8 juta ton. Disusul India, Brazil, dan Amerika Serikat.

Menurut Andreas, India perlu diwaspadai karena Indonesia saat ini bergantung pada negara tersebut sebagai pasar menjual produk sawit.

“Impor tembakau sekarang mengisi 30-50 persen kebutuhan pasar dalam negeri. Dalam beberapa tahun kedepan mungkin bisa lebih dari 50 persen,"ujanya. 

Produksi tembakau tahun 2019 diperkirakan mencapai lebih dari 180 ribu ton. Curah hujan rendah pada musim tanam tembakau, menyebabkan petani dapat panen tepat waktu dan berdampak pada peningkatan produksi.

Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, produksi tembakau nasional pada 2016 sebanyak 126.728 ton, turun 67.062 ton (34%) dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 193.790 ton. Produksi tembakau membaik pada 2017 mencapai 181.142 ton.

Naiknya jumlah produksi ternyata berbanding terbalik dengan harga jual tembakau. Hingga tengah tahun ini, harga jual tembakau rata-rata Rp 70 ribu-Rp 80 ribu per kilogram.

Tahun 2016 saat panen jeblok, harga tembakau justru bisa menyentuh Rp 120 ribu per kilo. “Harga jual anjlok karena pasar dibanjiri tembakau impor. Kami mendesak Peraturan Menteri Pertanian Nomor 23 dilaksanakan paling mepet awal September ini,” kata Andreas.

Pemerintah saat ini memberikan tanda-tanda dibukanya impor tembakau, menjawab tingginya kebutuhan bahan baku industri rokok.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, impor tembakau Januari-Maret 2019 mencapai US$ 158,41 juta, turun 0,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah US$ 159,53 juta.

1009