Jakarta, Gatra.com - Perkembangan Ekonomi digital dalam bentuk financial technology (fintech) semakin menyokong perekonomian dunia, melalui job creation di masa mendatang.
Meskipun pada sisi lain, sedang terjadi situasi volatile di perekonomian global, disebabkan oleh perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina. Kemudian, penurunan harga komoditas yang diikuti depresiasi mata uang Yuan.
Hingga 2016, ekonomi digital berkontribusi sekitar 22% terhadap perekonomian global. Sedangkan, di Asia Tenggara, kontribusi ekonomi digital terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) juga semakin tinggi, dengan persentase 2,8% di 2018 menjadi 8% di 2025.
Tak jauh berbeda, perekonomian digital di Indonesia juga berkembang pesat, seperti tercermin dari jumlah pengguna smartphone dan internet yang semakin banyak dari tahun ke tahun. Pada 2018, pengguna smartphone sudah mencapai 133% dari populasi, dan pengguna internet sudah mencapai 56% dari populasi.
“Hal ini menunjang perkembangan dari ekonomi digital di nusantara ini. Ekonomi digital Indonesia diproyeksikan akan meningkat pesat pada 2025 di mana nilai pasarnya akan mencapai US$100 miliar,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, ketika memberi keynote speech pada pembukaan Indonesia Fintech Forum 2019, di Jakarta, Rabu (3/9).
Dalam industri keuangan, menurut Darmin, adopsi teknologi begitu masif, sehingga mengubah cara masyarakat mengakses layanan keuangan. Ujungnya, beragamnya produk dan layanan fintech diharapkan dapat mempercepat terwujudnya inklusi keuangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Mantan Gubernur BI ini menambahkan, perkembangan teknologi keuangan di Indonesia sangat pesat dalam beberapa tahun ini. Khususnya fintech pembayaran dan pinjaman (lending).
Dari data statistik OJK, sampai Juni 2019 terdapat 113 fintech lending terdaftar. Angka ini meningkat dari 87 fintech lending di akhir 2018. Sedangkan, data BI menunjukkan terdaftar 58 fintech pembayaran di Agustus 2019, dibandingkan hanya 45 fintech pembayaran di Desember 2018.
Apalagi, kata Darmin, pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sangat besar di Indonesia, maka itu kebutuhan mereka akan adanya layanan fintech keuangan khususnya lending masih tinggi pula. Berdasarkan studi oleh PWC (2019) tentang fintech lending, disimpulkan bahwa akumulasi pinjaman dari fintech lending mencapai lebih dari Rp200 triliun di akhir 2020.
“Kantor Kemenko Perekonomian menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), untuk itu [saya sarankan] paling mudah untuk startup (fintech) masuk ke sana, kemudian bisa diorganisir petani atau peternaknya dalam penyaluran KUR tersebut. Di sini tingkat survival-nya tinggi, daripada masuk ke bidang lain,” ujar Darmin.
Perkembangan fintech ke depannya, tentunya tidak bisa lepas dari beberapa tantangan, seperti fenomena winner takes all seperti pada perkembangan e-commerce. Sejauh ini, ada kemungkinan penyalahgunaan data pribadi pengguna layanan, serta risiko pencucian uang.
“Jadi, diperlukan ekosistem yang baik antara lembaga keuangan dan regulator. Dalam hal ini, regulator harus memahami ekosistem, dan dinamika industri fintech terlebih dahulu, sebelum mengeluarkan kebijakan dan peraturan,” imbuhnya.
Regulator, lanjut Menko Darmin, juga harus menjalankan risk management yang bagus guna memberikan ruang bagi perusahaan fintech untuk berinovasi. “Di sini risk management sebaiknya tidak terlalu longgar ataupun ketat, sehingga inovasi tetap akan berjalan,” ujarnya.