Yogyakarta, Gatra.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap tidak mempunyai komitmen dalam pemberantasan korupsi jika memang tetap menyetorkan 10 nama Capim KPK kepada DPR. Jokowi pun didesak untuk melakukan koreksi dengan meminta masukan dari KPK.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zaenurrohman mengatakan, Presiden memang telah menyetujui 10 nama Capim KPK itu. "Jika memaksakan diri mengirim 10 nama ini ke DPR maka menunjukkan Presiden tidak mempunyai komitmen dalam pemberantasan korupsi," katanya saat dihubungi Selasa (3/9).
Sebab Pimpinan KPK yang akan datang tidak memiliki standar integritas tinggi dalam pemberantasan korupsi. Karena 10 nama Capim itu memiliki catatan-catatan etik. Seperti Firly Bahuri yang pernah mempunyai catatan etik ketika dirinya menjabat sebagai divisi penindakan di KPK. Pukat juga menyoroti sikap dan pernyataan beberapa Capim ketika menjawab pertanyaan Pansel dalam tahap wawancara dan uji publik.
Dalam tahapan itu ada Capim yang mengatakan bahwa ketika nanti menjabat sebagai pimpinan KPK tidak akan melakukan penindakan terhadap orang di institusi polisi dan kejaksaan. Ada pula yang mengatakan tidak bersemangat ketika menindak orang di 2 institusi itu karena dikhawatirkan bisa menimbulkan friksi antar penegak hukum.
"Misal dikhawatirkan menimbulkan cicak dan buaya. Menurut saya ini menunjukkan bahwa beberapa Capim tidak memahami pembentukan KPK itu sendiri. Pembentukan KPK itu bertujuan sebagai trigger mechanism, artinya menjadi pemicu agar penegak hukum lain itu bisa bersih dari korupsi. Sehingga seharusnya justru kerja KPK memprioritaskan institusi penegak hukum," katanya.
Presiden saat ini diharapkan bisa melakukan penelitian ulang terhadap 10 nama Capim itu. Yakni dengan meminta informasi dari KPK. "Kalau tidak mengoreksi atau mengganti dengan calon lain yang tidak ada catatan atau sedikit catatannya, artinya Presiden tidak mempunyai komitmen pemberantasan korupsi," ucapnya.