Jakarta, Gatra.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mempertanyakan pihak pemerintah yang saat ini mempermasalahkan perihal bendera Bintang Kejora yang sering dikibarkan oleh masyarakat Papua di berbagai kegiatan.
"Ini kemunduran. Kemundurannya adalah Bintang Kejora oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada masa jabatannya itu bisa meredam ketegangan karena dianggap sebagai ekspresi bagian dari kebudayaan. Terus di UU Otsus Papua, dianggap sebagai ekspresi politik. Nah itu menimbulkan ketegangan yang berlarut-larut," ujar Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam saat ditemui di Komnas HAM, Jakarta, Selasa (3/9).
Menurutnya, perlu dilakukan dialog oleh pemerintah untuk menentukan di mana status bendera Bintang Kejora tersebut. Pasalnya, saat ini menjadi timbul pertanyaan apakah bendera tersebut merupakan ekspresi kebudayaan atau politik.
Baca Juga: Polda Papua Tetapkan 10 Tersangka Baru Kericuhan di Papua
"Kalau kami ikut pandangan Presiden Abdurrahman Wahid. Ini ketegangan lama di Papua, diselesaikan secara baik oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada saat itu, ini bendera kebudayaan seperti bendera lain, tidak ada ketegangan. Terus kok tiba-tiba UU Otsus memunculkan itu sebagai persoalan. Ayo kita belajar kearifan seperti Presiden Abdurrahman Wahid," ujarnya.
Selain permasalahan bendera Bintang Kejora, Anam juga menyoroti adanya hal yang tidak terbantahkan dalam kericuhan di Papua. Ia menilai, narasi ketidakadilan dan kesejahteraan juga menjadi persoalan yang saat ini harus dihadapi pemerintah untuk menyelesaikan kericuhan di Papua.
"Saya tidak bisa membayangkan seperti kasus Paniai 2014. Itu Presiden Jokowi baru dilantik dan berada di Papua, berjanji menyelesaikan. Sampai detik ini tidak selesai, luka itu. Sekarang rasisme, di balik tindakan rasisme di Surabaya adalah mengkonfirmasi sebuah stigma dan fobia. Itu bagian yang juga harus diselesaikan," tegasnya.