Purbalingga, Gatra.com – Perajin batik di Purbalingga, Jawa Tengah mulai mengembangkan batik ramah lingkungan atau lebih populer disebut ecoprint. Mereka menggunakan pewarna berbahan dasar alami dari tumbuhan yang bisa ditemukan di lingkungan sekitar.
Salah satu perajin yang kini menggunakan bahan alami itu adalah Kusmiyati, warga Bukateja, Kecamatan Bukateja, Purbalingga. Ia kini mengembangkan batik ecoprint yang belum banyak dilirik perajin lainnya.
Kusmiyati mengatakan, bahan alami yang sering dia gunakan adalah Tabebuya, Jati, Ketapang, Jarak, Afrika, Paku, Jenitri dan Cemara. Warna alami tumbuhan tersebut diekstrak kemudian digunakan menjadi bahan pewarna kain.
“Jadi batik ini bisa memanfaatkan tumbuhan dari lingkungan sekitar,” katanya di Purbalingga, Senin (2/9).
Dia mengaku tertarik mengembangkan batik ini karena harganya yang tinggi. Nilai tinggi itu, menurut dia, disebabkan popularitas ecoprint yang kini menjadi tren karena ramah lingkungan. Selain itu, perajin batik belum banyak yang terjun ke industri batik jenis ini.
“Sebelumnya saya perajin sandal. Sekarang batik,” ujarnya.
Menurut Kusmiyati, selain proses pembuatan yang butuh ketelatenan lebih, bahan alam yang digunakan pun terkadang sulit ditemukan. Misalnya, daun Ekaliptus penghasil motif batik yang banyak diminati. Saking banyaknya yang mencari, akhir-akhir ini daun Ekaliptus berharga cukup mahal.
Pantas saja, Kusmiyati, warga Perum Griya Bukateja Baru Bukateja Purbalingga rela banting setir dari usaha lamanya memproduksi sandal menjadi pengrajin batik ecoprint. Meski bukan berlatar belakang pembatik dengan teknik cap atau tulis, Kusmiyati nyatanya cukup terampil mencipta batik ecoprint dengan ragam motif.
Lantaran tak memiliki latar belakang membatik, Kusmiyati mengaku belajar hingga tiga bulan. Selama waktu itu, ia terus mencoba membuat perpaduan warna dan mempertajam teknik batik ecoprint.
"Saya latihan coba-coba terus,” katanya.
Dia menjelaskan, Sebelum proses pembatikan, kain lebih dulu direndam menggunakan air campuran tawas. Kemudian, bahan alam ditata di satu sisi kain. Lalu sisi yang lain dijadikan penutup. Pengrajin tinggal memukul-mukul kain itu menggunakan palu hingga motif bahan alam tercetak.
“Nanti motifnya mengikuti bentuk daun atau bunga yang digunakan,” jelasnya.
Dia menuturkan, meski terlihat sederhana, proses pembuatan batik ecoprint butuh ketekunan dan kesabaran ekstra. Pembuatannya bahkan bisa memakan waktu berhari-hari. Antara satu perajin dengan lainnya pun hasilnya beragam, meski dibuat dengan bahan dan motif yang sama.
“Harga bervariasi, mulai ratusan ribu hingga lebih dari Rp1 juta. Batik yang paling mahal terbuat dari bahan berkelas seperti kain sutra,” ungkapnya.