Jakarta, Gatra.com - Polri menyebut, sedikitnya ada 52 ribu konten yang diduga sebagai konten provokasi kerusuhan aksi tolak rasisme di Papua. Angka itu naik dari temuan sebelumnya yang berjumlah 39 ribu konten.
"Sebelumnya 39 ribu dari 14-27 Agustus. Dari tanggal 28 Agustus-1 September ada 52 ribu lebih konten hoaks," kata Karopenmas Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (2/9).
Dedi menuturkan, jumlah tersebut yang menyebabkan pemerintah membatasi akses internet. Alasannya, agar kerusuhan tidak terjadi lagi.
"Pertimbangan seperti itu dibatasi dulu [akses internet]. [Ini] guna menghindari berita hokas itu terus meluas, sehingga justru memicu kerusuhan di masyarakat. Seharusnya aman, malah bisa anarkis dengan info-info tersebut," ujar dia.
Dedi mengklaim, dengan pembatasan informasi itu, situasi di Papua bisa dikendalikan. Sebab, informasi di dunia maya, katanya, selama ini memengaruhi aktivitas langsung di sana.
"Ketika [konten provokasi] dunia maya sangat masif, jeblok di sana. Ketika ada pembatasan akses internet turun, [aksi] menurun secara drastis dan bisa dikendalikan situasi di dunia nyata," klaimnya.
Meski tak bisa menyebutkan jenis konten hoaks yang disisir pihaknya dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Dedi menyebutkan, media sosial yang paling tinggi jadi penyebar konten itu adalah Twitter, kemudian disusul Facebook.
"Kalau Twitter berarti bukan melibatkan golongan ke bawah, akar rumput. Dia mainnya udah golongan middle, baik elite dalam negeri maupun luar negeri," katanya.