Jakarta, Gatra.com - Isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Papua selalu diikuti sentimen nasionalisme.
Amnesty Internasional di Indonesia, melalui Staf Komunikasi Haeril Halim mengatakan sentimen tersebut memang sengaja diangkat agar pemahaman masyarakat mengenai konflik dan akarnya menjadi bias.
"Itu memang by design untuk menghambat kerja-kerja kampanye HAM di Papua. Itu juga merupakan salah satu cara untuk mengaburkan pemahaman masyarakat Indonesia terkait pelanggaran HAM di Papua yang telah berlangsung lama," katanya di Jakarta, Senin (2/9).
Haeril menyebut tidak selesainya kasus-kasus pelanggaran HAM akan menjadi memori kelam bagi orang-orang Papua, yang akan diturunkan secara turun-temurun di Papua sendiri.
"Tidak adanya keadilan bagi korban dan keluarga korban akan terus menghidupkan memori kelam tersebut, yang suatu saat bisa berbuah ekspresi kekerasan jika suara-suara mereka tidak didengarkan oleh pemerintah," tambahnya.
Haeril juga meminta agar Presiden Jokowi harus segera berangkat ke Papua untuk meredamkan suasana.
"Kedatangannya jangan hanya jadi formalitas tapi harus digunakan untuk mendengarkan apa yang menjadi aspirasi orang Papua," ungkapnya.
Yang paling penting untuk disampaikan oleh Jokowi pada saat dialog, lanjut Haeril, adalah bahwa segala bentuk diskriminasi terhadap orang Papua yang telah berlangsung lama, harus segera dihentikan.
"Pembangunan infrastruktur di Papua penting, tetapi yang tak kalah penting adalah Presiden Jokowi harus menunaikan janjinya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua," jelasnya.