Cilacap, Gatra.com - Paguyuban Penghayat Kepercayaan Cahya Buwana menggelar upacara larung sesaji di Pantai Srandil, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Minggu (1/9). Tradisi 1 Sura itu diikuti kurang lebih 300 anggota komunitas dari berbagai wilayah.
Tradisi perayaan pergantian tahun ini dimulai dengan arak-arakan dua buah jolen (tandu yang dihias) berkepala naga dan burung berisi sayur dan buah-buahan. Mereka berkumpul di padepokan Mandalagiri Srandil lantas berjalan kaki sekira 3 kilometer ke Pantai Srandil sejak pagi buta.
Barisan penghayat berbusana Jawa ini berjalan diiringi seni barongsai dan musik kentongan. Selain jolen juga terdapat gunungan hasil bumi, jajanan pasar beserta sajian lainnya.
Ketua Yayasan Cahya Buwana, RT Budhiyanto Hermawan menuturkan, jolen berisi buah dan sayuran merupakan simbol rasa bersyukur penganut kepercayaan terhadap anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.
"1 Sura jadi sarana untuk merenung dan instropeksi berbagai hal yang telah terjadi selama setahun," katanya.
Perayaan satu Sura di padepokan Mandalagiri Srandil bagi penghayat Cahya Buwana melewati sejumlah prosesi. Prosesi diawali pembukaan sendang pada Jumat (30/8) tepat pukul 24.00. Pada Sabtu (31/8) digelar kesenian rakyat sebagai bagian tradisi melekan menyambut malam 1 Sura.
"Puncaknya larung jolen di pantai selatan untuk Kanjeng Ratu Kidul Sekaraning Jagat. Larung jolen khusus diadakan tiap tahun pada 1 suro yang merupakan awal tahun dalam penanggalan Jawa," katanya.
Sesepuh paguyuban setempat, Suyati mengatakan, jolen yang digambarkan dalam bentuk burung dan naga bermakna semuanya yang diciptakan Tuhan itu selalu memiliki wujud.
"Burung itu kan diwujudkan. Jadi semua yang ada di dunia ini kan berwujud. Dan perlu diketahui ini hanya persembahan kita mewujudkan hati, bersyukur kepada Tuhan," ujar pelawak yang dikenal dengan nama panggung Yati Pesek ini.
Yati mengaku, meski kurang sehat dia tetap mengikuti prosesi larung jolen ini. Sebelum berangkat dia meminta kesembuhan kepada Tuhan.
"Ini sebagai bentuk ungkapan rasa syukur saya atas semua nikmat yang diberikan oleh Tuhan selama setahun ini. Bukan berarti musyrik, di sini kita semua rata. Tidak ada yang kaya atau miskin. Ketika sudah sampai di sini ya kita tidur bersama di padepokan dengan beralaskan karpet," kata perempuan yang mengaku aktif di paguyuban sejak tahun 1984 ini.