Palembang, Gatra.com – Keberadaan Sriwijaya di Pulau Sumatera dengan wilayah kekuasan hingga ke Selat Malaka menjadi contoh bagaimana negara kemaritiman mampu menjalankan pemerintahannya. Karena itu, Sriwijaya patut dibanggakan.
Arkelog senior, Bambang Budi Utomo mengatakan terdapat beberapa alasan mengapa Sriwijaya menjadi ciri khas masyarakat di Pulau Sumatera pada abad 7-13. Alasan pertama, Sriwijaya merupakan kedatukan raja yang satu-satunya memiliki akte kelahiran, yakni prasasti Kedukan Bukit, 16 Juni 682 Masehi. Pada prasasti tertua dengan tiga penanggalan itu, yakni 23 April, 19 Mei dan 16 Juni, pada 682 Masehi berisi cerita keberhasilan perjalanan Dapunta Hiyan, yang mengambarkan kehidupan masyarakat Sriwijaya kala itu. Sriwijaya lebih tepat disebut sebagai kedatuan ketimbang kerajaan. Kedatuan diartikan, para raja-raja kecil (datuk) yang memiliki wilayah dengan kekuatan armada perang dan dagang. Kedatuan dipilih oleh raja-raja datuk (raja-raja kecil) yang memiliki kekuasaan hingga ke selat Malaka.
“Prasasti Kedukan Bukit masih tersimpan di Museum Nasional, Jakarta dengan nomor D.146, yang menguatkan keberadaan Sriwijaya di Pulau Sumatera (Pulau Melayu),” ujar Bambang usai mengisi Diskusi bertema Sriwijaya bersama Komunitas Cagar Budaya Palembang, Sabtu (31/8) di Palembang.
Alasan lainnya, yakni Sriwijaya juga sudah mengatur mengenai tata kotanya. Sriwijaya sudah membangun taman Sri Ksetra yang dapat diketahui dari Prasasti Talang Tuwo. Di Prasasti ini dituliskan bagaimana Raja Dapunta Hiyan Sri Jayanasa pada tanggal 23 Maret 684 Masehi memerintah membangun taman kerajaan yang berisikan tanaman khas, buah-buahan sekaligus penyebaran pengetahuan yang dibagikan kepada masyarakat.
“Prasasti memperlihatkan bagaimana Sriwijaya mengatur kota yang terdiri dari kawasan daratan tinggi, seperti bukit, talang-talang yang dipergunakan sebagai pusat ibadah (suci), atau kawasan perairan (dataran rendah), sungai dan laut yang menjadi pemukiman dan jalur transportasinya. Sriwijaya sudah bisa membangun kota dengan wawasan lingkungannya,” terang dia.
baca juga : https://www.gatra.com/detail/news/441513/lifestyle/ini-beberapa-penguat-sriwijaya-pernah-ada
Selain kedua prasasti itu, keberadaan Sriwijaya juga diperkuat dari pembacaan Prasasti Telaga Batu yang berisikan prasasti pesumpahan yakni sumpah pejabat, dan kalangan masyarakat lainnya terhadap raja Sriwijaya.
“Menariknya, di Prasasti Telaga Batu disebutkan nama-nama pejabat dan pegawai kadatuan, (pegawai pemerintah) dalam stuktur birokrasi. Pesumpahan ini ditujukan agar mereka tidak melakukan pemberontakan kepada raja,” ungkap Bambang.
Ketiga prasasti yang ditemukan di Palembang inipun menguatkan Palembang diprediksikan menjadi ibu kota Sriwijaya.
Dikatakan Bambang, sejak tahun 1992, atau sejak didirikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS), maka Palembang atau Sumsel akan sangat tepat menjadikan Sriwijaya sebagai ciri khasnya. “Selain pembacaan pada prasasti, juga ditemukan situs dengan berbagai peninggalannya yang mendukung keberadaan Sriwijaya,” pungkasnya.