Jakarta, Gatra.com - Wakil Ketua Bidang Advokasi, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Era Purnama Sari mengaku belum menemukan poin yang mewajibkan pengendalian kerusakan air, pada pemegang izin pengelolaan air dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Air (SDA).
Pemegang izin tersebut dapat berupa perusahan swasta, BUMN (Badan Usaha Milik Negara), maupun BUMD (Badan Usaha Milik Daerah)
"Poin kewajiban justru kepada masyarakat yamg bukan untuk kepentingan usaha," ungkapnya dalam Konferensi Pers di Kantor Eksekutif Walhi, Jakarta, Minggu (1/9).
Era juga menyayangkan pengakuan hak masyarakat adat hanya yang diakui dalam Peraturan Daerah (Perda).
"Hak-hak masyarakat baru ada ketika ada Perda," keluhnya.
Ia menilai RUU SDA masih minim pasa aspek partisipasi masyarakat dalam mengelola air.
Secara prinsip harus meliputi perencanaan monitoring dan evaluasi. Ini kalau kita baca nggak ada, nggak jelas masyarakat berpartisipasi pada level mana," jelasnya.
Manager Kampanye, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Wahyu Perdana berpendapat pengakuan hak atas masyarakat seharusnya dilakukan secara deklaratif, bukan konstitusional semata.
"Kalau pendekatannya begitu, hampir sedikit sekali masyarakat yang punya pengelolaan air, ujarnya.
Wahyu menyayangkan hingga kini belum ada perhitungan yang jelas antara kebutuhan air masyarakat dengan kebutuhan air perusahaan pengguna air.
"Maka itu konteks pengaturannya menjadi penting. Makin rancu ini sebenarnya, sama saja akan biarkan konflik ini di periode mendatang,” tuturnya.
Staf Riset Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Sigit Karyadi Budiono menganggap kewajiban perusahaan membayar sepuluh persen pendapatan untuk konservasi sebagaimana yang tertuang dalam RUU SDA kurang relevan.
"Berapa persennya dihitung dari berapa jumlah investasi, atau meter juta kubik yang diambil, itu bisa dihitung. Tapi, tidak ada data yang bisa diambil untuk pengawasan, neraca air, cadangan air, dan sisanya berapa," terangnya.