Palembang, Gatra.com – Pernyataan keberadaan Sriwijaya hanya sebuah cerita fiktif, harus diluruskan. Arkeolog senior, Bambang Budi Utomo menyampaikan beberapa hal penguat mengenai keberadaan Sriwijaya yang lebih tepat disebut sebagai kadatuan (perkumpulan para datuk) ketimbang kerajaan.
Dalam diskusi bertema Sriwijaya yang digelar komunitas Cagar Budaya Palembang, Bambang menyatakan beberapa hal yang mesti diluruskan dan diketahui oleh masyarakat mengenai Sriwijaya yang berkembang pada abad ke 7 hingga abad 13.
Dikatakan Bambang, keberadaan Sriwijaya yang dikenal sebagai negara maritim memiliki kekuasaan menguasai Selat Malaka terdapat dalam catatan berita China perjalanan seorang biksu, I-Tsing. Dalam perjalanannya ke Nalanda, I-Tsing diketahui singgah di Sriwijaya guna mempelajari tata bahasa sansekerta. “I-Tsing bukanlah utusan kaisar (Tiongkok/China) dalam mencari Sriwijaya. Ia adalah biksu yang ingin belajar ke Nalanda, India, namun singgah dengan keperluan pembekalan,”ujar Bambang, Sabtu (31/8).
Berbagai catatan berita perjalanan tersebut, menguatkan adanya kehidupan masyarakat maritim Sriwijaya yang berada di Pulau Sumatera.
Sekaligus, kata Bambang, beberapa temuan prasasti, terutama tiga prasasti yang telah terbaca yang menguatkan adanya kawasan perkampungan, persumpahan jabatan di kedatuan (raja Sriwijaya), hingga pembangunan taman Sri Ksetra. Prasasti Kedukan Bukit, tertanggal 16 Juni 682 menandai dibangunnya sebuah perkampungan, prasasti Talang Tuo tertanggal 23 Maret 684 menandai dibangunnya Taman Sri Ksetra dan prasasti Telaga Batu menandai pejabat-pejabat kedatuan (kerajaan) yang disumpah. Ketiganya ditemukan di Palembang, yang mengindikasikan kotaPalembang sebagai kota dari kedatuan Sriwijaya,
“Lebih tepat mengatakan Sriwijaya ialah kedatuan, yakni kumpulan para datuk, ketimbang kerajaan. Kedatuan diartikan bersifat federasi, yang memiliki kekuatan perang dan dagang,” terangnya.
Di Pulau Sumatera, juga tidak ditemukan desa bebas pajak. Mengingat, kata Bambang, desa dengan corak demikian hanya ditemukan di Pulau Jawa. Ketiga prasasti yang menguatkan hadirnya Sriwijaya juga ditemukan dalam bentuk asli (bukan duplikat) dan masih tersimpan.
“Mengenai keberadaan bajak laut, lebih dinyakini sebagai suku-suku laut. Keberadaan suku-suku laut ini membantu datuk Sriwijaya dalam menjaga teritori (perang) dengan pasukan, dan panglima yang mengatur kehidupan mereka sendiri, misalnya bermukim di kawasan pesisir sungai (laut),” terang Bambang.
Mengenai peninggalan Sriwijaya yang cendrung sedikit, Bambang berpendapat, bahwa Sriwijaya ialah kedatuan yang berkehidupan di laut atau dikenal sebagai negara maritim bukan negara agraris yang lebih banyak menghabiskan kehidupan sehari-hari di darat, seperti Kerajaan Mataram. Sehingga, Sriwijaya tidak terlalu banyak meninggalkan peninggalan di daratan seperti membangun rumah ibadah atau lainnya karena budaya kehidupannya, berada di laut (sungai) sebagai kedatuan maritim yang berjaya menguasai selat Malaka.
“Penyebab lainnya, bahan baku. Peninggalan terutama dalam bentuk bangunan (candi) atau rumah ibadah dalam bentuk batu sangat sedikit di kawasan Pulau Sumatera. Beberapa temuan seperti arca (artefak) atau candi, kemungkinan dibawa dari tanah Jawa,”terang ia.
baca juga ; https://www.gatra.com/detail/news/440628/lifestyle/budayawan-sumsel-sriwijaya-diteliti-bukan-sehari-dua-hari
Sriwijaya berakhir, saat beberapa kali serangan dari Kerajaan Cola. Penyerangan ini lebih disebabkan karena pajak yang ditetapkan oleh kedatuan Sriwijaya terlalu tinggi atas penguasaan selat Malaka yang mengakibatkan raja Sriwijaya ditawan sekitar abad 12-13. “Sementara bangsa Arya, tidak pernah sampai ke Sriwijaya. Bangsa ini, hanya sampai di Hindia Utara,” pungkas Bambang.