Jakarta, Gatra.com - Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Arief Poyuono, menilai penolakan Suprajarto sebagai Direktur Utama (Dirut) PT Bank Tabungan Negara (BTN) menjadi catatan bagi yang bersangkutan, meski penolakan itu boleh-boleh saja dan merupakan hak pribadi.
"Suprajarto menolak menduduki posisi Dirut Bank BTN yang dipilih oleh hasil RUPS Bank BTN, itu sah-sah saja dan hak dia, namun ini jadi catatan untuk Suprajarto," kata Arief saat dimintai tanggapan pada Sabtu (31/8).
Menurut Arief, penokan tersebut bukankah "mempermalukan" pemegang saham dan juga merupakan perlawanan terhadap perintah presiden karena penunjukkanya sudah mendapat persetujuan dari yang bersangkutan.
Arief meniai demikian, karena Bank BTN merupakan bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Negara (Himbara) yang penentuan Dirutnya harus melalui persetujuan tim penilai akhir (TPA) terdiri dari Presiden, Menteri BUMN, Menteri Keuangan (Menkeu), dan Menteri Sekretaris Kabinet.
Menurutnya, setelah Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSL) Bank BTN diselenggarakan dan persetujuan Presiden sudah dikantongi melalui Kementerian BUMN selaku wakil pemegang saham, artinya Presiden sudah menyetujui.
"Persetujuan dari Presiden sudah diperoleh oleh Kementerian BUMN selaku wakil pemegang saham. Artinya, Presiden sudah menyetujui penugasan Pak Supra di BTN. Jadi, apakah ini bentuk pembankangan Pak Supra pada perintah Presiden Joko Widodo," kata Arief.
Sebelumnya, Suprajarto menggelar konferensi pers menjelaskan sikapnya menolak jabatan Dirut PT BTN (Persero). Jabatan barunya itu merupakan hasil dari RUPSLB yang digelar di Jakarta, Kamis (29/8).
Dia menyampaikan, baru mengetahui pengangkaannya sebagai Dirut Bank BTN (Persero) setelah membaca pemberitaan di media massa karena tidak pernah diajak bicara apalagi diajak musyawarah oleh pihak Kementerian BUMN selaku pemegang saham mayoritas BTN. "Saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari hasil keputusan RUPSLB BTN," ujarnya.