Banyumas, Gatra.com – Pemerintah Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah bertekad melindungi bahasa Sunda sebagai salah satu kekayaan budaya dengan menyediakan tempat khusus untuk kekayaan budaya Sunda di Museum Naladipa.
Kepala Desa Dermaji, Bayu Setyo Nugroho mengatakan secara administratif berada di Kabupaten Banyumas yang mayoritas masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa Banyumasan atau Panginyongan. Akan tetapi, sejarahnya bahasa Sunda pernah menjadi bahasa tutur sehari-hari masyarakat Dermaji.
“Kita launching Sunda Corner. Jadi sehubungan dengan Desa Dermaji ini, pada masa yang lalu, pernah menjadi bahasa tutur, masyarakat di sini,” katanya usai acara Diskusi dan Workshop Toponimi dan QR Code, di Dermaji, Jumat (30/8).
Beberapa bukti adalah penamaan tempat, seperti grumbul, sungai atau sebuah tempat yang menggunakan bahasa Sunda. Misalnya, Grumbul Cibrewek, Citunggul, Cireang, Cijurig dan lain sebagainya.
Selain itu, masih ada juga istilah-istilah Sunda yang digunakan oleh masyarakat Dermaji, meski kini sudah menggunakan bahasa Jawa. “Dan kebetulan nama-nama tempat di Desa Dermaji ini juga, berbahasa Sunda,” ucapnya.
Bayu menerangkan, di Sunda Corner tersebut, rencananya akan ditempatkan peta desa dengan nama-nama grumbul atau tempat berbahasa Sunda. Kemudian, nama-nama itu akan dipasang QR Code, sehingga ketika dipindai pengunjung bisa langsung membaca asal-usul atau sejarah penamaan tempat ini.
“Dan itu diperkuat oleh riset Profesor Cece Sobarna, bahwa nama-nama itu mengandung bahasa Sunda. Dan ketika itu dikuatkan, maka akan memilki informasi yang bernilai sejarah,” jelasnya.
Dia menyebut, bahasa Sunda punah karena generasi sekarang tidak lagi berbicara dengan bahasa Sunda. Di sekolah yang diajarkan adalah bahasa Jawa. Akhirnya bahasa Sunda benar-benar hilang di Desa Dermaji.
Untuk mengenalkan bahasa Sunda ke anak-anak dan generasi muda, Museum Naladipa menyediakan berbagai bahan bacaan tentang bahasa Sunda, atau buku berbahasa Sunda. “Literarut bahasa Sunda, majalah berbahasa Sunda kita sediakan untuk memperkaya pemahaman tentang budaya Sunda,” imbuh
Sementara, Guru Besar Linguistik Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Dr. Cece Sobarna mengatakan, bahasa Sunda di Dermaji kini memang telah punah. Akan tetapi, jejak peradaban Sunda masih terlihat jelas. Di antaranya lewat nama-nama tempat yang lebih Sunda dibanding Jawa.
“Perlindungan kekayaan lokal itu harus dilakukan oleh semua pihak. Pemerintah dan masyarakat harus terlibat aktif,” ucap Cece.
Dia menerangkan, berdasar riset yang dilakukannya di tiga kabupaten Jawa Tengah, pengaruh budaya Sunda telah terjadi sejak masa kerajaan Galuh dan kerajaan lain yang lebih tua. Namun, perlahan penutur bahasa Sunda menurun drastis lantaran anak-anak diwajibkan belajar bahasa Jawa di sekolah.
Menurut dia, mestinya kekayaan budaya yang diajarkan di dunia pendidikan tak hanya mempertimbangkan wilayah administratif. Lebih penting, kata dia, adalah kekayaan budaya asli masyarakat setempat.
“Kalau memang sudah berbahasa Sunda ya jangan dipaksa untuk berbahasa Jawa. Begitu pun sebaliknya, yang berbahasa Jawa di Jawa Barat atau Cirebonan, jangan disuruh mempelajari bahasa Sunda,” ucapnya.