Jakarta, Gatra.com - Kapolri Jenderal Tito Karnavian meminta setiap warga pendatang untuk membaur dan menyesuaikan diri dengan warga lokal serta sistem budaya sosial di daerah yang mereka tempati. Hal itu disampaikan menyusul terjadinya konflik tolak tindakan rasisme yang terjadi di Papua.
"Yang perlu saya sampaikan pada para tokoh yang ada di Papua, tolong kita yang namanya pendatang, siapa pun juga pendatang di mana pun juga di seluruh dunia ini, berusaha menyesuaikan diri dengan kearifan lokal, dengan adat istiadat, norma yang berlaku di daerah itu," kata Tito di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (29/8).
Tito meminta para pendatang untuk tidak eksklusif dan membaur dengan masyarakat sekitar. Sebab, kata Tito, Indonesia dibangun di atas kebhinnekaan.
Tito pun memberi contoh, jika orang dari Sumatera bersekolah di Yogyakarta maka harus menyesuaikan dan beradaptasi dengan kultur Yogyakarta serta bergaul dengan masyarakat setempat.
"Kalau bisa jangan ekslusif tapi bergaul dengan masyarakat sekitar, membaur dan menghargai budaya adat yang ada di tempat itu karena negara kita adalah negara yang memang sangat kebhinekaan beragam, punya adat istiadat sendiri, sama juga dengan masyarakat yang datang di papua," ujarnya.
Hal serupa juga berlaku untuk warga negara asing. Menurut Tito, pengunjung dalam dan luar negeri harus paham kultur asli di mana pun mereka berada untuk menghindari konflik horizontal.
Bicara soal konflik, Tito mengatakan, rangkaian aksi di Papua memang dipantik oleh adanya tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Ia mengatakan, kasus tersebut dilakukan oleh oknum, bukan masyarakat Surabaya sepenuhnya.
"Kasus di Surabaya itu dilakukan oleh oknum, tidak mewakili masyarakat, itu tidak benar ada perkataan-perkataan tidak baik, itu tidak boleh," ungkap jenderal Bintang Empat ini.
Tersangka yang Tito maksud adalah Tri Susanti, Wakil Ketua Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI-Polri yang juga caleg dari Partai Gerindra. Perempuan itu diduga telah menghasut dan menyebarkan hoaks terkait masyarakat Papua di asrama.
Lebih lanjut, Tito meyakinkan bahwa mahasiswa di Papua dijamin keselamatannya di mana pun mereka berada.
"Kita tegakkan hukum tapi adik-adik mahasiswa juga yang sekolah di tempat-tempat tersebut kita jamin keamanannya. Tapi adik-adik sendiri tentu harus juga menghargai masyarakat lokal. Budayanya adatnya, sehingga bisa berbaur sebagaimana senior-senior terdahulu," ucapnya.
Sebelumnya, sejumlah warga melakukan aksi unjuk rasa di beberapa titik di Papua, mulai Manokwari, Sorong, Timika, Jayapura hingga Deiyai. Rangkaian aksi itu sudah dimulai sejak Senin (19/8) lalu.
Aksi itu disebut sebagai bentuk protes terhadap persekusi dan rasisme yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) dan oknum aparat terhadap mahasiswa Papua di sejumlah daerah, yakni Malang, Surabaya, dan Semarang.
Peristiwa itu dimulai saat aparat mengangkut paksa 43 mahasiswa Papua ke Mapolrestabes Surabaya, Sabtu (17/8) sore. Mereka dibawa karena diduga melakukan perusakan bendera Merah Putih ke dalam selokan. Namun, pengangkutan itu dilakukan setelah polisi menembakkan gas air mata, menjebol pintu pagar asrama hingga terlontarnya kalimat rasis dari oknum terhadap mahasiswa Papua di Surabaya itu.
Akibat tindakan itu, aksi pecah hingga menyebabkan korban jiwa dan beberapa fasilitas rusak. Teranyar, aksi di Deiyai bahkan meregang satu nyawa aparat TNI dan tiga lainnya dari Polri mengalami luka-luka.