Pasca pendudukan ISIS, sejumlah kota di Irak menghadapi ancaman konflik sektarian. Dipicu oleh faktor ekonomi, perselisihan properti antara golongan Sunni dan Syiah.
Sudah tiga tahun Kota Mosul di Irak terbebas dari cengkeraman ISIS. Namun ketegangan akibat konflik sektarian masih menyelimuti kota tersebut. Abu Bakar Kanaan, Gubernur Provinsi Ninewa, mengatakan bahwa telah terjadi perubahan demografis pada penduduk bemazhab Sunni dan Syiah.
“Terjadi perubahan demografis, sehingga penduduk dipaksa keluar dari lingkungan mereka dengan sejumlah imbalan,” kata Abu Bakar seperti dikutip dari Al-Monitor.
Mosul berada di bawah kendali ISIS sejak 2014. Pada 30 Juni 2014, Pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi, mendeklarasikan negara khalifah Islam dari situs paling terkenal di Mosul, Masjid Agung al-Nuri.
Sebagai kota terbesar kedua di Irak, jumlah penduduk yang berada di Mosul diperkirakan lebih dari 1,3 juta jiwa. Secara demografi, mayoritas penduduk sebanyak 60% bermazhab Arab Sunni, 25% merupakan minoritas Kurdi, dan sebagian kecil lainnya terdiri dari Arab Syiah, Turkmen, dan Kristen.
Yang dikeluhkan Kanaan, yaitu adanya upaya dari pihak wakaf Syiah untuk mengambil alih beberapa situs properti yang selama ini dikelola oleh Kantor Wakaf Sunni Irak. Komunitas agama ini biasanya mengelola beberapa tempat publik, seperti tempat ibadah, sekolah, dan pasar.
Tuduhan ini bukannya tanpa dasar. Seorang pedagang di Pasar Souq al-Bala, Mosul, menuturkan kepada Al Jazeera bahwa mereka harus membayar sewa tempat dagangnya kepada Wakaf Syiah. Pembayaran tersebut, kata si pedagang, diiringi intimidasi.
“Banyak dari kami penyewa toko-toko yang baru dibangun, lantas diambil alih oleh wakaf Syiah. Para Pengumpul uang sewa ini juga dijaga ketat oleh orang-orang bersenjata. Tidak tahu apakah mereka Syiah atau bukan,” ujar pedagang tersebut.
Fakr al-Din al-Jubouri, seorang penduduk Mosul, mengatakan hal yang sama. “Beberapa tempat dan pasar sekarang memiliki nama-nama dan ditandai dengan simbol keagamaan kelompok Syiah,” katanya.
Perselisihan mengenai properti sebenarnya bukan hal baru. Jika ditelusuri, hal itu terjadi ketika dewan pemerintahan yang ditunjuk oleh Amerika Serikat pada 2003 menghapus Departemen Wakaf dan Agama (Ministry of Awqaf and Religius Affair) yang selama bertahun-tahun tugasnya mengelola seluruh sumbangan baik dari kalangan muslim maupun non-muslim di Irak. Penghapusan itu berlanjut pada penggantian MERA menjadi beberapa kantor muslim dan non-muslim, lantas mendirikan Office of Sunni Endowment (OSE) dan Office of Syiah Endowment (OSHE).
Pada 2008, pemerintah membentuk Komite Pemisahan dan Isolasi (Committee of Isolation and Separation) yang bertugas mengawasi proses pendistribusian kantor-kantor muslim dan non-muslim itu. Termasuk merinci pendaftaran properti dan identitas agama dari pendonor, serta membantu mengalokasikan lokasi properti, baik untuk OSE maupun OSHE.
Namun usai dibentuknya komite ini, perselisihan masih kerap terjadi. Beberapa permasalahan, misalnya, ketika OSHE mengeklaim Masjid Al-Assifiya yang terletak di Baghdad sebagai properti mereka karena merupakan tempat penguburan seorang tokoh Syiah yang penting. Di sisi lain, OSE mengeklaim bahwa masjid kuno tersebut milik ordo Sufi dan terdapat kuburan Sufi di dalamnya. Perselisihan tersebut kemudian dibawa ke meja hijau lalu dimenangkan oleh OSHE.
Mengutip laporan Al-Monitor, karena khawatir akan kontrol Syiah yang semakin besar, orang-orang Mosul lantas mengirim surat kepada otoritas agama tertinggi di Irak. Surat yang dilayangkan pada 25 Juni lalu itu menyerukan kepada otoritas agama tertinggi agar secara tegas menetapkan batas pada OSHE dalam mengendalikan properti milik Sunni.
Gubernur Mosul, Mansour Mar’eed, khawatir terhadap perselisihan di Mosul. Menurutnya, konsekuensi hukum harus diberikan kepada mereka yang mencoba mengambil sewa atau mengontrol properti milik OSE.
Perselisihan Sunni dengan Syiah perihal situs-situs keagamaan tidak hanya terjadi di Mosul saja. Di Samarra, sebuah kota yang jaraknya 200 kilometer dari Mosul, kelompok Sunni dan Syiah juga terlibat perselisihan yang sama. Kelompok Sunni menuduh kelompok Syiah mengambil alih Kuil Suci para Imam Askaria.
Tudingan dari kelompok Wakaf Sunni itu dibalas oleh kelompok Syiah. Bassem al-Bayati, seorang Direktur di OSHE, menolak pihaknya dicap mencaplok sejumlah situs keagamaan kelompok Sunni. “Klaim kelompok Sunni itu tidak berdasar dan hanya akan membangkitkan konflik sektarian. Setiap perubahan dalam kepemilikan properti sudah dilakukan sesuai dengan kaidah hukum,” ucapnya.
Hal senada juga diungkapkan Farqad al-Saadi, seorang pejabat OSHE. “Kepemilikan real estate di kota itu belum semuanya terselesaikan, apalagi Departemen Wakaf dan Agama sudah bubar. Saat ini, merupakan anugerah bila OSHE bisa menyewa properti sesuai dengan hukum dan peraturan,” ujarnya.
Menurut Wathiq al-Jabri, konsultan di Pusat Pengembangan Media Irak, perselisihan ini didorong oleh alasan ekonomi. “Keuntungan yang diperoleh dari menyewakan properti keagamaan sangat besar. Belum lagi, kekuatan politik dan pengaruh yang diwakilkan oleh situs-situs keagamaan itu,” Wathiq menjelaskan.
Pakar hukum Ali al-Tamimi menjelaskan, Undang-Undang yang mengatur mengenai kepemilikan properti sudah sangat jelas. “Bila merujuk undang-undang itu, sudah sangat jelas seluruh pemangku kepentingan harus mendaftarkan diri ke layanan real estate. Jika terjadi perselisihan mengenai kepemilikan properti maka Departemen Real Estate negara bagian yang menyelesaikan. Kemudian pemerintah harus membentuk komisi penyelidikan. Ada juga pengadilan tingkat pertama yang merupakan pihak sah untuk menyelesaikan sengketa,” tuturnya.
Aulia Putri Pandamsari