Jakarta, Gatra.com - Kejaksaan Agung ikut tanggapi perihal intervensi yang dilakukan oleh Jaksa Agung M Prasetyo terhadap Direktur Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung, Johanis Tanak.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Mukri mengatakan bahwa yang dilakukan Jaksa Agung merupakan sebuah kewajaran karena posisi sebagai pimpinan Korps Adhyaksa.
"Menanyakan perkembangan penanganan perkara yang ditangani oleh seluruh jajarannya. Itu merupakan hal yang biasa dan berlaku bagi seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi. Apalagi jika perkara yang ditangani menarik perhatian publik," ujar Mukri saat dikonfirmasi, Rabu (28/8).
Diketahui hari ini dalam uji publik dan wawancara, salah satu capim KPK dari Kejaksaan, Johanis Tanak menceritakan pengalaman tersulitnya saat menangani kasus korupsi yang menyeret mantan Gubernur Sulawesi Tengah Mayjen TNI (Purn) HB Paliudju.
Diketahui Paliudju melakukan tindak pidana korupsi pada 2014 lalu. Dan tanak saat itu menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Agung Sulawesi Tengah. Kasus pencucian uang itu juga melibatkan mantan bendahara Gubernur sekaligus adik ipar HB Paliudju, Rita Sahara.
Menanggapi itu, Mukri mengatakan bahwa saat itu, Jaksa Agung justru memerintahkan untuk menindaklanjuti perkara.
"Bahkan Jaksa Agung menyerahkan sepenuhnya kewenangan penahanan kepada penyidik," tambahnya.
Sebelumnya Johanis menceritakan, Prasetyo pernah berpesan untuk menahan kasus tersebut karena Paliudju adalah kader Nasdem yang ia lantik. Sehingga Prasetyo meminta Johanis menimbang keputusan dengan baik.
Lanjut Johanis bercerita bahwa Ia menyampaikan kepada Jaksa Agung bahwa bila pada saat ini melakukan tindakan tegas nantinya citra publik terhadap kejaksaan agung yang diisi oleh kader parpol nantinya akan lebih baik.
Kendati demikian, Tanak mengatakan bahwa dirinya tetap menuruti perintah Prasetyo karena pimpinan tertinggi di Korps Adhyaksa. Kemudian akhirnya ,Johanis bercerita bahwa kasus tersebut ditahan.
"Beliau lalu telepon saya, mengatakan agar itu diproses, tahan! Dan besoknya saya tahan," ujar Johanis di di Gedung 3 Kemensetneg, Jakarta Pusat, Rabu (28/8).
Dalam perkara korupsi dana operasional Gubernur Sulteng tahun 2006-2011 dan TPPU ini, Bandjela dituntut 9 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dikenakan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp7,78 miliar subsider 4 tahun penjara.
Namun, majelis hakim Pengadilan Negeri Palu justru memutus bebas. Jaksa penuntut umum (JPU) selanjutnya mengajukan kasasi dan akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Agung berdasarkan putusan Nomor : 1702K / Pid.Sus / 2016 tanggal 17 April 2017 dengan vonis penjara 7 tahun 6 bulan, denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan, serta wajib membayar uang pengganti Rp7,78 miliar subsider 3 tahun penjara.