Jakarta, Gatra.com - Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Cina membuat mata uang Rupiah rentan terhadap depresiasi. Hal serupa dirasakan mata uang lainnya hampir di seluruh dunia.
"Kita enggak sendirian, semua negara mengalami hal yang sama. Terlebih, perang dagang antara AS dan Chin akhir-akhir ini lebih mendorong terjadinya depresiasi untuk Yuan," ujar Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti di Jakarta, Rabu (28/8).
Selain itu, guna memitigasi depresiasi Rupiah. BI menjaga pasar dengan terus meyakinkan seluruh stakeholder terkait kondisi domestik dalam keadaan yang baik.
"Kita harus bisa menunjukkan pada masyarakat bahwa ekonomi kita baik. Ini terbukti dari inflasi kita yang terjaga dan fiskal kita yang sangat prudent. Jadi, ini yang harus ditumbuhkan," jelasnya.
BI juga selalu menyediakan likuiditas yang cukup. Salah satunya melalui instrumen Domestic Non Delivery Forward (DNDF) untuk menjaga transaksi di pasar dan meredam folatilitas terhadap Rupiah.
Meski begitu, Destry juga mengakui bahwa instrumen ini tidak memberikan efek yang sangat signifikan terhadap penguatan Rupiah. Karena, banyaknya pengaruh negatif dari sentimen eksternal.
"Kita enggak berharap rupiah langsung menguat di bawah Rp14.000. Karena, itu juga akan sulit. Tapi, at least kita bergerak sama dengan negara-negara lain, yaitu dengan folatilitas yang lebih terjaga," tutupnya.