Sleman, Gatra.com - Pusat Kajian Anti-korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada mendesak Presiden Joko Widodo mengkaji pengerucutan 20 nama calon pimpinan KPK oleh panitia seleksi. Hal ini agar 10 nama terpilih hasil pansel yang diajukan ke DPR tidak bermasalah.
Peneliti Pukat UGM Zaenurrohman mengatakan, presiden harus tahu sejauh mana akuntabilitas kerja pansel dan memberi arahan atas kerja mereka. Menurut dia, pansel bekerja untuk dan atas nama presiden. Untuk itu, presiden punya hak menentukan nama-nama yang diloloskan oleh pansel.
"Sekarang masih belum terlambat. Dari 20 nama akan menjadi 10 nama. Di situlah kesempatan terakhir Presiden untuk memilih capim KPK yang tidak bermasalah," kata Zaenur usai konferensi pers pernyataan sikap Jaringan Anti-korupsi Yogyakarta (JAY) tentang proses seleksi capim KPK, di kantor Pukat UGM, Rabu (28/8).
Zaenurrohman mengatakan, Presiden Jokowi boleh mengintervensi hasil kinerja pansel. Sebab nanti yang mengirim nama-nama capim KPK ke DPR adalah Presiden Jokowi. "Presiden bisa meminta akuntabilitas kerja dari pansel. Sehingga Presiden juga bisa memberikan stressing terhadap catatan-catatan bermasalah dari masing-masing capim KPK," katanya.
Zaenurrohman mengatakan masyarakat sudah memberi masukan dan catatan tentang para capim KPK yang kini diseleksi. Catatan itu antara lain mengenai kepatuhan mereka terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
"Misalkan ada catatan tidak patuh melaporkan LHKPN seharusnya pansel mencoret calon tersebut. Kedua adalah catatan etik. Apakah calon itu ada catatan etik ketika dia melakukan suatu pekerjaan atau menduduki suatu jabatan? Jika ada catatan etik, maka tidak seharusnya KPK dipimpin oleh orang-orang yang memiliki catatan (pelanggaran) etik," ucapnya.
Pernyataan sikap Jaringan Anti-korupsi Yogyakarta tentang proses seleksi capim KPK dibacakan oleh Direktur Pukat UGM Hasrul Halili. Jaringan ini terdiri dari Pukat UGM, MHH PP Muhammadiyah, Pusham UII, ICM, LBH Yogyakarta, IDEA, PIA, AJI Yogyakarta, WALHI Yogyakarta, dan Bivitri Susanti, Widodo D. Putro,
serta Herlambang.
"Pertama, pansel lagi-lagi tidak mempertimbangkan syarat LHKPN capim KPK dalam proses seleksi. Ketentuan Pasal 29 angka 11 UU KPK menyebutkan bahwa LHKPN salah satu syarat yang harus dipenuhi calon pimpinan KPK. Sementara pansel capim KPK justru bersikukuh bahwa LHKPN tidak dipersyaratkan dalam seleksi," tutur Hasrul.
Hasrul mengatakan, langkah pansel yang berencana mengganti calon pimpinan KPK jika tidak memberikan LHKPN setelah terpilih sangat tidak tepat. Selain tidak ada mekanisme penggantiannya, tugas pansel selesai saat menyetorkan 10 nama hasil seleksi ke presiden.
Menurut Hasrul, pernyataan itu menunjukkan kekeliruan pansel. Proses seleksi capim KPK pun berpotensi terjadi cacat formil dan tidak sesuai dengan UU KPK. Kedua, JAY menilai rekam jejak capim KPK tidak menjadi pertimbangan penting bagi pansel.
Apalagi, berdasarkan penelusuran rekam jejak, KPK telah memberi catatan pada beberapa nama dari 20 capim KPK yang kini lolos. Antara lain tidak taat dalam pelaporan LHKPN, diduga pernah terlibat pelanggaran etik, pernah menghalangi kerja KPK, dan bahkan ada yang diduga pernah menerima gratifikasi.
Masukan KPK tersebut seharusnya menjadi pertimbangan pansel. Namun, kata Hasrul, pansel tidak mempertimbangkannya, sehingga calon dengan banyak catatan tetap lolos.
Poin ketiga, JAY meminta pansel capim KPK transparan dan mempertimbangkan masukan publik dalam seleksi sesuai pasal 31 UU KPK. Sedangkan poin keempat, presiden perlu mengevaluasi kinerja pansel. Sebab pansel tidak menghiraukan kritik dan masukan publik.
"Presiden harus membuktikan komitmen memperkuat KPK dengan tidak memilih nama-nama capim yang terindikasi bermasalah. Bagaimanapun, hasil kerja pansel menjadi cermin sikap Presiden," kata Hasrul.