Jakarta, GATRAreview.com - Ekonom memprediksi, pada masa pemerintahan periode kedua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal menghadapi sejumlah tantangan berat di sektor ekonomi. Tantangan berat tersebut muncul karena harga komoditas yang masih tertekan dan melambatnya pertumbuhan ekonomi global yang dipicu perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang semakin panas. Juga kekhawatiran akan terjadi resesi ekonomi di AS.
Untuk itu, ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal menyarankan agar Jokowi mau mengambil pelajaran berharga dari kelemahan implementasi kebijakan ekonomi yang digulirkannya pada periode pertama. Kecepatan eksekusi program-program pembangunan harus diimbangi dengan perencanaan yang lebih matang. “Pendekatan-pendekatan parsial dalam penyelesaian permasalahan ekonomi juga harus ditinggalkan,” ujar Faisal kepada GATRA Review.com di Jakarta.
Rapor Jokowinomics Jilid I
Berdasarkan catatan CORE Indonesia, ungkap Faisal, pada lima tahun pertama pemerintahan Jokowi ada sejumlah catatan keberhasilan atau rapor biru. Proyek-proyek infrastruktur yang masif dalam lima tahun terakhir telah berkontribusi pada perbaikan daya saing ekonomi, yang tercermin di antaranya dari naiknya peringkat Ease of Doing BusinessIndonesia. Stabilitas perekonomian Indonesia secara makro juga cukup terjaga, di antaranya tercermin dari nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi yang relatif rendah, serta kondisi fiskal yang relatif sehat. “Pada saat yang sama, tingkat kemiskinan dan pengangguran terbuka pun secara berangsur mengalami penurunan,” ujar Direktur Eksekutif CORE Indonesia itu.
Rapor merah Pemerintahan Jokowi Jilid pertama juga ada. Sebut saja, pertumbuhan ekonomi yang tertahan pada kisaran 5 persen, jauh meleset dari target 7 persen yang dijanjikan pada awal pemerintahannya, 2014 silam. Pelebaran defisit perdagangan mencatat rekor paling buruk sepanjang sejarah. Selain karena lemahnya daya dorong ekspor, pelebaran defisit ini juga dipicu oleh tingginya tingkat ketergantungan impor dalam proses produksi di dalam negeri, termasuk untuk proyek-proyek infrastruktur. “Transaksi berjalan Indonesia pun mencatat defisit yang semakin besar, hingga 3 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto),”terang Faisal.
Koreksi Target Pertumbuhan Ekonomi
Di akhir periode kedua pemerintahannya, Jokowi agaknya menyadari kelemahan-kelemahan tersebut. Sayangnya, alih-alih memperbaiki strategi kebijakan untuk mewujudkan target pertumbuhan ekonomi yang meleset, Jokowi justru mengoreksi target pertumbuhan ekonomi menjadi 5,7 persen pada 2024. Menurut Faisal, tidak tepat jika kondisi eksternal yang kurang mendukung dituding sebagai alasan utama dibalik koreksi target pertumbuhan ekonomi ini. Buktinya sejumlah Negara, pertumbuhan ekomoninya masih dapat dibilang moncer. Seperti India, Vietnam dan Filipina. “Penurunan target tersebut dapat menyiratkan pesimisme pemerintah dalam memandang perekonomian ke depan,” kata Faisal.
Sebetulnya, di era periode kedua nanti, Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini didukung dengan adanya bonus demografi. Yakni jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia non-produktif. Karenanya, tekanan eksternal semestinya tidak bisa dijadikan alasan untuk memaklumi inersia pertumbuhan ekonomi nasional. “Apalagi dalam waktu dua dasawarsa ke depan, kita dituntut untuk berjibaku memerangi jebakan kelas menengah (middle income trap), yang mustahil dapat dihindari jika perekonomian kita terus tumbuh di bawah 7 persen,” tukas Faisal.
Fokus Peningkatan SDM
Pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi bakal mengalihkan fokus dari target pertumbuhan ekonomi kepada kualitas pertumbuhan dan pemerataan ekonomi dengan menetapkan pembangunan sumber daya manusia sebagai titik berat kebijakan ekonominya dalam lima tahun ke depan. Yang menarik adalah, pembangunan infrastruktur tetap menjadi fokus berbarengan dengan pembangunan SDM. Namun pada saat alokasi APBN untuk pembangunan SDM ditingkatkan, Jokowi tidak mengendurkan alokasi anggaran Negara untuk pembangunan infrastruktur, meskipun pembiayaan infrastruktur bersifat multifinancing, atau dikeroyok bersama-sama antara APBN, BUMN dan swasta.
Tentu saja kebijakan ekspansif ini sangat positif untuk mendorong perekonomian, apalagi dalam kondisi ekonomi dunia yang kurang mendukung seperti sekarang. Namun, konsekuensi dari kebijakan ini adalah peningkatan beban belanja pemerintah yang kemudian merambah pada isu sensitif, yakni melebarnya defisit anggaran dan utang pemerintah.Terlebih lagi pemerintah akhir-akhir ini semakin kesulitan untuk mendongkrak penerimaan APBN. “Penerimaan pemerintah pada semester pertama 2019 tumbuh jauh lebih lambat dibanding semester pertama tahun sebelumnya,” ujar Faisal.
Misi Besar Jokowinomics Jilid II
Diungkapkan Faisal, kesulitan bukan hanya pada pos penerimaan yang terkait langsung dengan perdagangan internasional yang mengalami kontraksi hingga 10% akibat tekanan global, tetapi juga pos-pos penerimaan terbesar, yakni pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Dua pos penerimaan terakhir pada paruh pertama tahun ini hanya tumbuh masing-masing 5% dan 3% secara year on year, padahal semester yang sama tahun lalu masing-masing mampu tumbuh 14%.
Tidak hanya itu, Jokowinomics Jilid II juga membawa misi yang sangat besar, yakni memindahkan ibukota negara, yang digadang-gadang akan menghabiskan dana Rp 486 triliun. Proyek monumental ini mengundang kontroversi di banyak kalangan, mulai dari tataran ide hingga pembiayaan. Dari aspek pembiayaan, kekhawatiran mengemuka bukan hanya lantaran Jokowi menargetkan proyek ini sebagian besar akan dibiayai oleh BUMN dan swasta, tetapi juga terhadap potensi pembengkakan anggaran pemerintah sendiri.
Menurut Fasial, kekhawatiran ini dapat dimaklumi jika menengok bagaimana implementasi proyek-proyek pembangunan yang dijalankan dalam lima tahun terakhir. Hasrat untuk segera menuntaskan proyek-proyek berskala besar kerap kali tidak diimbangi oleh kajian yang matang,serta perencanaan yang komprehensif dan terintegrasi. Akibatnya,dampakekonomi yang tercipta relatif terbatas sementara kinerja keuangan BUMN yang ditugasi untuk menjalankan proyek-proyek tersebut pun tertekan. “Program “Tol Laut”, contohnya, setelah lima tahun dijalankan belum berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan timur Indonesia,” ujarnya.
Alternatif Solusi
Menurut Faisal, agenda pembangunan SDM tidak dapat berdiri sendiri, namun harus diarahkan untuk mendukung sektor-sektor pengungkit utama perekonomian nasional. Demikian pula infrastruktur yang dibangun harus benar-benar diarahkan untuk menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan baru. Terlebih lagi dalam menjalankan agenda pemindahan ibukota, perencanaan yang tidak hati-hati justruberpotensi menciptakan inefisiensi, ekonomi biaya tinggi,dan mengganggu ritme pembangunan yang tengah dijalankan.
Kebijakan yang menitikberatkan pada pertumbuhan yang berkualitas melalui pengembangan SDM sebenarnya dapat berjalan beriringan dengan upaya mengejar target pertumbuhan itu sendiri. Program-program pendidikan vokasi, riset dan pembangunan infrastruktur dapat difokuskan untuk menunjang perbaikan industri manufaktur. Memang tidak mudah membangkitkan daya saing dan kinerja industri manufaktur dalam situasi global yang belum membaik seperti saat ini. “Namun, Indonesia memiliki keunggulan pasar dalam negeri yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menyerap produk-produk manufaktur domestik,” ujar Faisal.
Sementara, untuk mengatasi defisit perdagangan dan lemahnya pertumbuhan investasi, tidak cukup dengan membuat nomenklatur baru Kementerian terkait ekspor dan investasi. Sebab, masalah kinerja ekspor dan investasi bersifat multi sektoral dan sistemik, dimana kementerian perdagangan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) adalah hilirnya. Oleh sebab itu, penguatan kolaborasi dari hulu ke hilir multak dibutuhkan dan ini sangat ditentukan oleh kapasitas kepemimpinan dan koordinasi yang kuat pada level kementerian koordinator bidang perekonomian yang membawahi urusan ini.
Berbagai insentif untuk mendorong ekspor dan menarik investasi semestinya tidak melulu terfokus pada sisi fiskal yang sebenarnya memiliki ruang manuver yang relatif sempit. Kebijakan moneter juga harus berperan sama besar apalagi mengingat ruang manuvernya yang relatif lebih luas. Selain itu, kebijakan-kebijakan di sektor riil juga harus terus dibenahi. Selain terus melakukan langkah-langkah deregulasi, penyederhanaan prosedur dan ijin usaha. “Yang juga sangat penting adalah menciptakan iklim investasi yang menarik dan menguntungkan,” tukas Faisal.
Editor : Sujud Dwi Pratisto