
Jakarta, Gatra.com - Ada stigma bahwa para korban pelanggaran HAM, dulu, dianggap sebagai pemberontak. Penculikan aktivis juga merupakan tindakan subversif. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Zaenal Muttaqin.
Zaenal mencontohkan aktivis '98 yang dipenjara dan bahkan ada yang dihilangkan secara paksa. "Jika stigma itu tidak dicabut oleh pemerintah, korban beserta keluarganya masih menanggung itu. Harus ada pernyataan resmi dari negara, dan itu harus dipulihkan."
Mereka, baik aktivis maupun para penyintas yang dianggap pemberontak, pada dasarnya hanya melakukan aktivitas politik biasa, namun oleh negara dibebani dengan stigma tersebut. "Yang bisa kami lakukan adalah terus melakukan upaya pengakuan untuk para korban," ujar Zaenal.
Terkait pidato Presiden Jokowi pekan lalu, Zaenal menyayangkan hal tersebut. Pasalnya, isu HAM sama sekali tidak disinggung. "Kami sangat menyayangkan, kenapa justru itu lebih mundur dari Nawacita dan RPJNM periode sebelumnya. Kami merasa bahwa pemerintahan kedua Jokowi buntu."
Meski persoalan HAM selama pemerintahan Jokowi di periode pertama tidak berhasil menggugat para pelanggar-pelanggar berat, Zaenal mengakui masih terdapat beberapa terobosan dan instrumen hukum yang memungkinkan ada pengakuan terhadap para penyintas.
"Pemerintah memberi kompensasi dan restitusi bagi para korban pelanggaran HAM. Jadi, ada surat keterangan Komnas HAM, ada layanan medis dan psiko-sosial khusus diberikan untuk para korban pelanggaran HAM. Itu merupakan bentuk simbolis dari negara bahwa mereka adalah korban," kata Zaenal.