Jakarta, Gatra.com - Eksekusi putusan perdata masih jadi momok dalam peradilan di Indonesia. Sebab, tidak ada aturan yang memaksa pihak yang kalah untuk menjalankan putusan secara sukarela.
"Salah satu yang kita temukan kita tidak punya sistem yang memaksa pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan secara sukarela," ujar oleh Hakim Agung, Syamsul Maarif, dalam diskusi publik "Penyelesaian Gugatan Sederhana sebagai Wujud Sistem Peradilan yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan" di Hotel Aryaduta Jalan Prajurit KKO Usman dan Harun, Jakarta Pusat, Selasa (27/8).
Berkaca dari negara lain, Syamsul mengatakan, Indonesia ketinggalan jauh ihwal data-data yang dibutuhkan dalam perkara perdata. Contohnya di Belanda, menurutnya tidak ada satu pun data perbankan, data perusahaan ataupun data pribadi yang tidak diketahui negara. "Orang Belanda bilang tidak ada satu pun orang yang tidak diketahui berapa asetnya," katanya.
Selain itu, jurusita (bailiff) juga diberi kewenangan lebih untuk mengakses data keuangan, data perusahaan dan data pribadi orang yang bersengketa, sehingga yang kalah bisa langsung dieksekusi.
"Dia punya kewenangan perbankan, meminta data keuangan, dia berhak datang ke mana suami bekerja, sebagian gajinya langsung dipotong untuk bayar anak sekolah," kata Syamsul, mencontohkan.
Namun, ke depannya dengan Perma Gugatan Sederhana mendorong eksekusi lebih cepat. Sebab dalam metode peradilan yang sederhana menggunakan prinsip cepat. "Paling lama tujuh hari sejak permohonan eksekusi aanmaning harus dikeluarkan. Paling lama 7 hari sejak dikeluarkannya aanmaning, sidang harus dilaksanakan," katanya.