Darfur, Gatra.com - Sudan telah meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk mencabut penangguhan penarikan pasukannya dan memastikan semua pasukan perdamaian meninggalkan Darfur pada Juni 2020. Tetapi Uni Afrika mengatakan, keamanan keseluruhan di wilayah barat yang luas itu masih tidak stabil.
Dilansir dari Aljazeera, Selasa (27/8), Duta Besar Sudan untuk PBB, Omer Mohamed Siddig, mengatakan, kepada Dewan Kemanan PBB pada Senin (26/8) bahwa sudah waktunya untuk beralih dari pemeliharaan perdamaian ke pembangunan perdamaian di Darfur, dan untuk mengakhiri pembatasan pergerakan senjata dan pasukan pemerintah di dalam dan di luar dari wilayah tersebut.
Pada akhir Juni, Dewan Keamanan PBB memberikan suara bulat untuk menangguhkan penarikan pasukan penjaga perdamaian gabungan PBB-Uni Afrika dari Darfur, saat negara itu menghadapi krisis politik.
Penangguhan itu memperpanjang mandat pasukan yang dikenal sebagai UNAMID, sampai 31 Oktober, dan meminta PBB dan Uni Afrika untuk membuat rekomendasi pada 30 September tentang yang harus dilakukan DK PBB terkait penarikan pasukan.
Baca juga: Perjanjian Pembagian Kekuasaan Jadi Momen Bersejarah Sudan
Diketahui, PBB saat ini memiliki hampir 5.600 pasukan yang disebut Helm Biru di Darfur, meskipun ada rencana untuk mengurangi jumlah pasukan menjadi 4.050.
Konflik Darfur dimulai pada 2003 ketika etnis Afrika memberontak, menuduh pemerintah Sudan yang didominasi Arab melakukan diskriminasi.
Pemerintah di Khartoum dituduh melakukan pembalasan dengan mempersenjatai suku-suku nomaden Arab lokal dan melepaskan mereka pada populasi sipil, namun tuduhan itu telah dibantah.
Dalam beberapa tahun terakhir, sebagai hasil dari kampanye militer pemerintah yang sukses, pemberontakan telah dikurangi dan tersisa faksi Tentara Pembebasan Sudan yang dipimpin oleh Abdul Wahid Elnur di Jebel Marra.
Pada Juli 2018, DK PBB memilih untuk secara dramatis memotong pasukan UNAMID sebagai tanggapan atas berkurangnya pertempuran dan peningkatan kondisi keamanan. Target untuk mengakhiri misi hingga 30 Juni 2020.
Smail Chergui, komisioner Uni Afrika untuk perdamaian dan keamanan, mengatakan kepada DK bahwa Darfur masih menghadapi bentrokan bersenjata berselang antara pasukan pemerintah dan pemberontak Elnur yang juga telah menculik warga sipil dan staf organisasi nonpemerintah untuk tebusan, merampok truk komersial, dan menjarah milik media lokal dan organisasi kemanusiaan.
Kepala penjaga perdamaian PBB, Jean-Pierre Lacroix, menyatakan keprihatinannya tentang meningkatnya ketegangan antara petani dan penggembala di Darfur, dan komisioner Uni Afroka mengatakan musim pertanian saat ini cenderung lebih banyak kekerasan terkait lahan.
Baca juga: Sudan Miliki Hamdok sebagai PM Baru Pemerintahan Transisi
Konflik Darfur terjadi di bawah pemerintahan otokratis tiga dekade mantan Presiden Omar al-Bashir. Sudan dikejutkan oleh perang saudara dan pemberontakan berdarah, tidak hanya di Darfur tetapi di negara-negara Nil Biru dan Kordofan Selatan.
Pemerintahan Al-Bashir berakhir pada bulan April ketika militer memindahkannya setelah protes massal oleh gerakan prodemokrasi yang dimulai akhir tahun lalu.
Perjanjian pembagian kekuasaan yang ditandatangani awal bulan ini antara militer dan pemrotes menyerukan agar pemerintah mencapai kesepakatan damai dengan kelompok-kelompok bersenjata dalam waktu 6 bulan.
Hingga kini, fraksi SLA Elnur telah menolak untuk bergabung dengan proses perdamaian Darfur. Sedangkan Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan Utara dipimpin oleh Abdel Aziz al-Hilu, yang telah berperang melawan pasukan keamanan Sudan di Nil Biru dan negara-negara Kordofan Selatan selama 10 tahun terakhir, juga menolak untuk membicarakan perdamaian.