Jakarta, Gatra.com - Pemilihan presiden (pilpres) 2019 menerapkan ambang batas pencalonan presiden. Kebijakan ini dinilai berdampak kepada kurangnya keterwakilan perempuan calon legislatif dalam pemilihan umum (pemilu). Selain itu, hal ini juga dianggap dapat menghambat perempuan dalam mencalonkan diri sebagai presiden.
"Kalau kita mau membangun iklim politik yang ramah perempuan, selain juga pilihan yang lebih beragam, dan soal kandidat perempuan untuk pilpres, maka tidak akan bisa selama masih ada ambang batas untuk pencalonan presiden," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini dalam konferensi pers di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (27/8).
Selama masih ada ambang batas ini, Titi melihat bahwa perempuan hanya bisa bermimpi untuk menjadi wakil presiden. Jadi, kebijakan ambang batas ini jelas, kata Titi, menghambat keterwakilan perempuan dalam politik, belum lagi berpengaruh dalam pola kontestasi di pemilihan legislatif sendiri.
"Pemilu kemarin mengubah konsistensi pilihan rakyat terhadap suatu partai politik. Ketika ada caleg yang berkampanye, yang ditanya malah caleg itu mendukung capres yang mana, bukan ditanya visi ataupun partainya," ucap Titi.
Titi juga melihat ambang batas parlemen mengganggu persaingan yang adil dalam pemilihan, dengan ambang batas yang lebih tinggi daripada pemilu 2014 (2,5%) namun jumlah partainya lebih sedikit, di pemilu 2019 (4%) partai politik seakan-akan dibuat terpojok harus mendapat elektabilitas sebanyak-banyaknya.
"Jadi sebenarnya ambang batas itu kecil saja, tetapi sistemnya lebih multipartai, sehingga itu akan lebih efektif," tutur Titi.