Jakarta, Gatra.com - Category Manager, Corteva Agriscience, Dimas Randy memperkirakan perbandingan jumlah pestisida asli dan palsu yang beredar di pasaran mencapai 50:50.
"Kerugian tidak terlalu besar secara materi, tetapi kepercayaan [petani]," ujarnya pada Seminar Nasional "Anti-Counterfet Crop Life Indonesia" di Hotel Aston Priority, Jakarta, Selasa (27/8). Namun, Ia tidak merinci lebih lanjut nilai kerugian secara finansial.
Randy menceritakan, pihaknya kerap mendapat keluhan dari petani terkait penurunan kualitas pestisida. Padahal produk yang digunakan palsu.
"Kami bawa sampel ke lab ternyata nggak ada bahan aktif. Syukur komplainnya [mengeluh] ke orang kami. Kalau ke orang lain, mungkin enggak beli lagi. Itu kerugian tidak langsumg yang kami takutkan," tuturnya.
Menurutnya, beberapa produk pestisida palsu umumnya hanya bertahan 1-2 bulan saja. Hal ini disebabkan petani yang cepat sadar mengenai perbedaan kualitas produk.
"Sekarang rutin 2 tahun sekali ada perubahan kemasan produk, tutup botol, dan warna produk," ujarnya. Kemudian, pihaknya kerap melakukan sosialisasi terkait perubahan tersebut.
Senior Analis IPR Direktorat jenderal Bea dan Cukai, Andri Rizqia Indrawan menuturkan, pemanfaatan teknologi sangat penting untuk membedakan produk asli dan palsu. Ia mencontohkan pemanfaatan teknologi pita cukai yang bisa mendeteksi produk asli dan palsu
"Karakterstik porduknya harus diubah terus. Desin industri akan tiap thaun mengubahnya. Tiap tahun akan diubah, mendaftarkan ke Ditjen HKI (Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual)," tuturnya.
Anggota Regulatory Committee CropLife Indonesia, Mayang Marchiany mengajak kepada seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan dampak peredaran pestisida palsu dapat dikelola dan diminimalisir.
Menurutnya, pestisida yang legal telah melalui serangkaian proses pengujian, sesuai standar yang telah ditetapkan pemerintah.
"Kita punya komitmen untuk memastikan bahwa produk-produk kami sudah diuji, aman, dan sesuai peraturan oenerintah setempat," katanya.